Sekolah, Anak-Anak dan Utopia Masa Depan

Notification

×

Iklan

Iklan

Sekolah, Anak-Anak dan Utopia Masa Depan

Sabtu, 04 September 2021 | 17:47 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:13Z

Betul bahwa sekolah merupakan jembatan masa depan yang dapat mengantarkan mereka meraih cita-cita. Ketika anak bangsa pedesaan harus berjalan bolak-balik sejauh belasan kilo meter dan menyebrangi sungai untuk menjejali diri dengan ilmu pengetahuan di sekolah adalah usaha mewujudkan cita-cita terangkatnya harkat dan martabat.


Sekolah juga merupakan pabrik penghasil manusia yang beretika-moral kuat dan kokoh - kalau proses pembelajaran dilaksanakan secara tepat - yang akan membawa manusia dari kegelapan menuju terang benderang.

Dengan membangun jembatan atau mengadakan angkutan pedesaan, umpamanya, mereka yang terisolasi dan marjinal akan secepat menggapai indahnya cita-cita. Maka, saya pikir merehabilitasi sekolah, menyediakan angkutan pedesaan, dan mengaspal jalan yang berlobang adalah medium komunikasi dialog kritis-emansipatoris dalam menjawab atau menghantarkan mereka mewujudkan cita-cita.

Karenanya, cita-cita yang terhunjam dikedalaman rasa setiap anak bangsa tak seharusnya dibunuh dengan cara-cara diskriminatif. Misalnya, pelayanan publik yang terlalu birokratis, ketersediaan ruang publik yang emansipatoris terkikis habis, dan korupsi anggaran belanja operasional sekolah acap kali mewabah.

Bukankah mereka adalah aset berharga bagi kemajuan bangsa Indonesia ke depan? Dari segi sumber daya manusia (SDM), anak adalah seorang generasi penerus keberlanjutan suatu bangsa dan kelompok strategis yang harus diperhatikan agar mereka dapat tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaan.

Sekitar 68 juta atau 30 persen penduduk adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, dan memerlukan perhatian dari elemen bangsa. Mereka sangat mengharapkan orang tua, pendidik atau pemimpin bangsa di Indonesia memiliki rasa kemanusiaan, hingga nasib mereka tidak terhijabi oleh mahalnya biaya sekolah.

Negeri Indonesia sangat membutuhkan kehadiran pemimpin yang peduli terhadap anak. Sebab, eksistensi kader masa depan pemimpin bangsa berasal dari anak dan sangat strategis untuk dijadikan pabrikasi manusia beradab dan bermartabat. 

Jumlahnya juga, saat ini menduduki sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia . Dalam bahasa lain, anak adalah mustika berharga yang susah dicari untuk dijadikan tumpuan berharap atas membaiknya Indonesia ke depan.

Paulo Freire (Pedagogy of The Opressed, 1972) mengatakan, tidak ada kata sejati yang pada saat bersamaan nihil dari dunia praksis. Ia menegaskan, bahwa sebuah kata sejati adalah kemampuan mengubah dunia. Sebab praksis adalah penyatuan antara tindakan dan refleksi atau kesatupaduan antara kata dengan karya sehingga menghasilkan usaha-usaha praksis pembebasan. 

Maka, menyediakan sarana dan prasarana sekolah yang representatif dan pendidikan murah adalah usaha pembebasan yang menjabarkan kata-kata menjadi tindakan nyata.

Oleh karena itu, semangat belajar anak bangsa kendati harus kecapaian tatkala berjalan dan berenang untuk sampai ke sekolah adalah kekuatan dahsyat yang bisa menciptakan stamina kebudayaan sehingga peradaban di Indonesia akan meggeliat bangkit. Mereka adalah prototype manusia yang bahagia dan berpenantian masa depan.

Maka, seharusnya pemerintahan malu ketika gejala ketidakmerataan hak memeroleh pendidikan ini menyeruak ke permukaan. Sebab, di Indonesia masih banyak anak ndeso yang mengharapkan belas kasih yang tidak hanya tersimpan di racauan mulut atau Undang-Undang.

Fenomena sulitnya warga mengakses sarana dan prasarana pendidikan bagaikan gunung es, di mana hanya terlihat bagian kecilnya saja. Jika ditelisik sampai ke seluruh Indonesia , anak-anak yang bernasib sama dengan mereka sangat banyak. 

Andai saja pemerintahan tidak mempasilitasi mereka dengan sarana dan prasarana sekolah yang representatif dan akses pendidikan murah, sama saja telah membunuh harapan futuristik mereka untuk mengangkat dirinya dari jurang keterpurukan harkat dan martabat.