Psikolog Universitas Muhammadiyah Bandung (UMBandung) Novy Yulianty, M.Psi., Psikolog. (Dok. Pribadi). |
BANDUNG - Banyak pertimbangan yang menyebabkan seseorang atau pasangan memutuskan untuk childfree. Misalnya karena masalah finansial, ketidaksiapan menjalankan peran sebagai orang tua, minimnya support system dari lingkungan, hingga cemas akan kemampuan diri menjadi orang tua.
Demikian dikatakan oleh psikolog dari Universitas Muhammadiyah Bandung (UMBandung) Novy Yulianty, M.Psi., Psikolog ketika ditanya masalah childfree yang akhir-akhir ini ramai dibahas, khususnya di media sosial.
”Childfree merupakan keputusan yang diambil secara sadar oleh pasangan untuk tidak memiliki anak atau keturunan. Menurut saya itu kembali lagi kepada pasangan tersebut. Memang pada dasarnya keputusan pasangan suami-istri untuk memiliki anak tidak bisa sembarangan. Artinya orang tua perlu terlebih dahulu memastikan bahwa dirinya siap menjadi ayah dan ibu,” kata Novy, di kampus UMBandung, Rabu (15/09/2021).
Novy menjelaskan bahwa hal tersebut menjadi penting karena di lapangan banyak ditemukan masalah terkait pengasuhan yang penyebabnya ialah ketidaksiapan pasangan suami-istri menjadi orang tua.
”Namun, saya pribadi tidak setuju dengan childfree karena selain dengan adanya anak akan membuat pernikahan lebih bahagia, juga terkait pemahaman saya secara Islam. Karena upaya untuk memiliki keturunan dengan menikah menjadi sebuah ibadah dalam mencari Ridho Allah dan berharap berkah dari doa anak saleh setelah orang tua meninggal,” tutur Novy.
Dosen UMBandung ini kembali menegaskan bahwa banyak faktor mengapa ada di antara pasangan suami-istri mengambil keputusan childfree.
Pertama, bisa jadi karena ketidakmampuan berperan menjadi ayah dan ibu. Kedua, mungkin ada masalah ekonomi serius sehingga dengan sengaja menunda bahkan memutuskan untuk tidak memiliki anak.
”Selain itu, keputusan childfree sering kali disebabkan karena seseorang masih mempunyai ‘luka pengasuhan’ di masa lalu dan hal ini akan menjadi masalah tersendiri. Apalagi jika seseorang memiliki trauma yang berasal dari keluarganya terdahulu, relasi pernikahan kedua orang tua yang tidak sehat, ataupun ketidaksesuaian cara bagaimana orang tua mengasuh serta mendidik kita,” tegas konselor keluarga ini.
Semua itu, lanjut Novy, akan menyebabkan seseorang menjadi cemas akan masa depan yang padahal belum tentu terjadi. Namun, fakta demikian memang susah dibantah.
Dampak childfree
Terkait apa dampaknya pasangan suami-istri memutuskan childfree, Novy memaparkan beberapa hal. Menurut Novy, dampak negatif childfree di antaranya yakni sulitnya mencapai kebahagiaan pernikahan karena salah satu tujuan pernikahan itu untuk mendapatkan keturunan.
”Jadi, kalaupun belum dikaruniai rejeki berupa anak, dan secara sengaja untuk tidak memiliki anak, hal ini dikhawatirkan di kemudian hari. Hal yang paling penting ialah bahwa keputusan childfree ini harus berdasarkan kesepakatan bersama antara suami dan istri, tidak boleh mengambil keputusan sepihak,” terang Novy.
Selain itu, dampak lainnya ialah memungkinkan pasangan tersebut mendapatkan stigma negatif dari lingkungan, termasuk keluarga besar. Pada dasarnya orang tua dari kedua belah pihak pasti sangat berharap bahwa kelak akan memiliki cucu.
Oleh karena itu, jika keputusan ini sudah pasti diambil, sangatlah perlu berdiskusi dengan keluarga besar untuk menghindari hal-hal tersebut.
Childfree juga menurut Novy punya dampak positif. Jika orang tua benar-benar tidak mampu untuk menjalankan peran sebagai orang tua, ini bisa jadi keputusan yang tepat.
”Harus diakui bahwa bukan hal yang mudah bagi seseorang yang mengalami masalah psikis tertentu, apalagi gangguan yang sudah berat, kemudian memaksakan diri untuk memiliki anak dalam pernikahannya,” ujar Ketua Pusat Layanan Konsultasi Psikologi (PLKP) Universitas Muhammadiyah Bandung.
Mengapa keputusan childfree banyak diperdebatkan bahkan dihujat? Novy mengatakan bahwa hal itu terkait kultur masyarakat kita yang memang sudah lekat dengan konsep “banyak anak banyak rezeki”.
Kemudian ada juga konsep dan pemahaman masyarakat bahwa pernikahan bahagia selalu ditentukan oleh ada atau tidaknya buah hati di tengah pasangan yang telah menikah.
Selain itu, lanjut Novy, memang dalam Islam pun sudah jelas dikatakan bahwa sebagai manusia, fitrah kita adalah menikah untuk mendapatkan keturunan.
”Akhirnya, kedua hal tersebut menjadi dasar yang digunakan sebagian orang untuk memperdebatkan bahkan menghujat keputusan childfree yang ramai akhir-akhir ini,” kata Novy.
Hindari stigma negatif
Ketika ada pasangan memutuskan childfree, idealnya masyarakat jangan terburu-buru memberikan stigma negatif kepada pasangan tersebut. Dijelaskan Novy, ada baiknya kita untuk mendengarkan apa alasannya, apakah ada kekhawatiran? Sejauh mana kekhawatiran itu?
”Saya yakin bahwa sebagai manusia biasa, sebenarnya semua orang memiliki naluri sebagai orang tua karena memang itu fitrah yang sudah Allah install ke dalam diri kita masing-masing,” tuturnya.
Di balik fenomena childfree, penulis buku ”Luka Batin Masa Kecil” ini berpendapat bahwa ada masalah lain yang juga mengakar dan ini yang membuat kita untuk lebih peka.
Misalnya, apakah orang tersebut sebenarnya punya pengalaman tidak menyenangkan dalam relasi orang tua-anak? Atau gambaran orang tua yang didapatkan sejak kecil tidak sesuai dengan harapan sehingga asumsinya dia tidak mau meneruskan mata rantai “luka” itu dengan jalan tidak sama sekali memiliki anak.
”Jika hal ini terjadi, segera berikan support untuk mencari bantuan professional psikolog agar masalah ini bisa cepat diatasi sehingga seseorang bisa kembali pada fitrah perannya sebagai orang tua dan berdampak pada tercapainya kebahagiaan dalam pernikahan,” pungkas Novy. (Firman Katon)