Relasi Sosial Urang Sunda Semestinya

Notification

×

Iklan

Iklan

Relasi Sosial Urang Sunda Semestinya

Kamis, 16 Desember 2021 | 12:24 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:04Z

Dalam dunia pewayangan, selalu kita temukan pertarungan antara Pandawa dan Kurawa, yang sebetulnya mimesis pertarungan antara kebaikan dan kebatilan. Selain itu, konfigurasi tokoh, seperti Semar, merupakan pertanda yang memantulkan bahwa ajaran kasih sayang untuk memerangi kebrutalan (chaos) dan laku barbar adalah kemuliaan. 
 
Itu dilakukan untuk menumpurludeskan keserakahan yang diwakili sosok Dorna, saudara Semar, yang kerjaannya mengadu domba agar segala pretensi ideologinya dapat dianut para raja pongah. Bahkan, parahnya lagi, divide et impera gaya Dorna dicetuskan hanya untuk memperkaya diri sendiri. Maka, kita tidak mengharapkan jika urang Sunda berubah wujud menjadi generasi yang memegang ajaran Dorna, hingga selalu membikin ulah dan berbuat onar.
 
Jadi, falsafah hidup urang Sunda mestinya mengakui orang yang berbeda suku, agama, status sosial, dan kepercayaan berbingkai spiritualitas agama dan kearifan lokal. Fleksibilitas dan kedinamisan seperti inilah yang melahirkan sikap dan perilaku Ki Sunda sehingga mampu memproduksi keluhungan budaya Sunda dari masa ke masa. 

Dalam bahasa lain, Sunda-dalam perspektif kebudayaan-menjadi asyik untuk dinikmati, seperti halnya kesenian, dan dipraktikkan seperti halnya ajen inajen hubungan sosial yang harmonis dalam kehidupan sehari-hari.
 
Pertanyaannya, bagaimana kredo praksis masyarakat Sunda semestinya? Apakah mesti memegang teguh nilai-nilai kebajikan ataukah bergelut dengan kebatilan sembari mementingkan diri sendiri? Yang jelas, urang Sunda tidak menyukai bila atmosfer kehidupan di alam marcapada ini dihiasi perpecahan, bentrokan, dan perilaku diskriminatif. Oleh sebab itu, untuk menciptakan harmoni dalam sebuah kesatuan masyarakat yang plural, diperlukan ajen inajen relasi sosial yang tanpa sekat dan hijab.
 

Karakter urang Sunda


MAW Brouwer menuliskan kesannya terhadap karakter pribadi urang Sunda. Ia mengatakan, urang Sunda cenderung merelatifkan dunia, diri, surga, dan selalu mencari segi humor dari apa saja yang dibicarakan. Bukan tertawa bodoh seperti kebanyakan anak dusun yang tidak tahu apa-apa, melainkan tertawa halus yang sering mulai dengan gumujeng khas dalam sebuah intimitas berkomunikasi urang Sunda dengan sesama Sunda, non-Sunda, dan yang lainnya.
 
Kecenderungan merelatifkan dunia, diri, surga, dan selalu berusaha humoris mengindikasikan bahwa relasi sosial urang Sunda mesti memantulkan ketenteraman dan santai. Sebab, merelatifkan atau merendahkan diri dari masyarakat Sunda adalah pesan kemanusiaan untuk tidak berbentrokan dengan orang lain.
 
Dari sinilah cermin karakter urang Sunda dapat kita saksikan dari sistem hubungan sosial kemasyarakatan yang sejalan dengan kepentingan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri. Misalnya, dalam sistem pemerintahan desa, akan ditemukan istilah bale desa yang memiliki arti fungsional, yaitu sebagai tempat pertemuan antara pemerintah dan masyarakat untuk membicarakan persoalan yang tengah terjadi.
 
Pegangan hidup itu merupakan potret ketidaktergesa-gesaan urang Sunda ketika menanggulangi sebuah persoalan yang melilit. Dalam peribahasa Sunda dikenal dengan leuleus jeujeur, liat tali. Hal ini merupakan salah satu konfigurasi kultural yang luhung dan dapat dijadikan pemompa daya hidup (biofilia) masyarakat Sunda kontemporer sehingga kerawanan sosial akibat bentrokan primordial dapat ditekan sampai angka yang seminim mungkin.
 

Memelihara keberbagaian


Saya yakin bahwa produk budaya yang dihasilkan Ki Sunda merupakan buah dari upaya karuhun kita yang sering merenungi diri dan sesuatu di luar dirinya. Maka, secara praksis muncul kredo atau keyakinan dalam gerak hidup Ki Sunda bahwa di dalam ruang dan waktu bernama alam marcapada ini terhampar keberbagaian yang mesti dibangun, bukan dihancurkan.
 
Misalnya, pada sisi sarakan, yakni lingkungan hidup tempat kita saling berhubungan erat, harus tercipta simbiosis mutualisme antara alam, manusia, dan Gusti anu Maha Widi yang harus saling-meminjam istilah Sayyed Hossein Nashr-berelasi secara harmonis. Maka, jika secara ideal masyarakat Sunda itu harus berperilaku santun atau someah, bagaimana kenyataan yang terjadi dalam tataran realitas historis?
 
Umpamanya, kita bisa menggugat urang Sunda yang cenderung mengidamkan kedatangan pemimpin dari keturunan Siliwangi, tetapi dalam dunia praksis tidak lagi memberikan wewangian. Bukankah dalam sistem sosial kemasyarakatan urang Sunda terpantul gerakan kultural yang memiliki kecerdasan sosial tinggi? Buktinya, banyak sekali peribahasa Sunda yang menggambarkan bahwa kita adalah salah satu etnis yang mementingkan ketenteraman dan keharmonisan.
 
Misalnya, kita boleh menyebutkan peribahasa ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salogak; hurip gustina, hirup abdina; someah hade ka semah; dan masih banyak lagi. Ungkapan tong kurung batokkeun juga adalah tanda bahwa semangat urang Sunda untuk belajar sepanjang waktu (life long education) dilakukan agar tidak memiliki pikiran sempit. Sebab, ketika urang Sunda tidak memiliki elmu atau keluasan wawasan, boleh jadi dunia luar atau perbedaan akan menjelma menjadi hal yang sedemikian asing, bahkan ditempatkan sebagai the other.
 
Hasilnya, relasi sosial yang dilakukan masyarakat Sunda akan dipenuhi dengan pandangan tribalistik yang berkiblat pada laku lampah Dorna. Namun, saya kira tesis ini tidak akan terjadi di Tatar Sunda. Sebab, semenjak dahulu urang Sunda memiliki kearifan hidup yang menempatkan perbedaan sebagai pusaka suci. Dengan demikian, etnis lain yang datang ke Tatar Sunda suka betah hingga tak berlebihan jika Pasundan menjelma menjadi tempat peristirahatan yang tenang.
 
Ekspresi lokal adalah suara klasik memang asyik untuk dinikmati dan sangat luhung untuk dimainkan seluruh warga. Tentu saja hal itu akan menjadi sumbangsih bagi kecentang-perenangan aneka konflik yang saat ini kian menggurita memenuhi alam hidup berbangsa. 

Relasi sosial yang melokal tentunya dapat membuahkan hasil yang transformatif guna terciptanya tradisi arif-beragama, bernegara, dan bermasyarakat. Semoga saja tekanan konfliktual dapat dihadang oleh kekuatan etnik-kultural Sunda yang harus menempatkan perbedaan sebagai rahmat.