Komunikasi Pembelajaran dan Masa Pandemi

Notification

×

Iklan

Iklan

Komunikasi Pembelajaran dan Masa Pandemi

Selasa, 18 Januari 2022 | 09:30 WIB Last Updated 2022-01-18T02:30:52Z


Oleh ASEP SAEFUL MUHTADI,
Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Bandung


NUBANDUNG - Komunikasi insani (human communication) adalah proses pertukaran pesan yang berlangsung dalam dunia manusia. Karena itu, ia selalu melibatkan manusia, baik dalam konteks intrapersonal, interpersonal, kelompok, maupun massa. Komunikasi sendiri bertujuan menghidupkan suasana interaksi yang berlangsung sehingga diperoleh efek yang maksimal, baik menyangkut efek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. 


Komunikasi juga akan berusaha mencairkan hambatan-hambatan fisik maupun psikis yang dapat mengganggu efektifitas pertukaran pesan di antara aktor-aktor yang terlibat.


Pada masa-masa krisis di mana setiap individu tidak dapat berinteraksi secara langsung, proses komunikasi pun mengalami keterhambatan. Selama masa Pandemi Covid-19, misalnya, aktivitas komunikasi antar-individu terhambat, terutama karena terhalangnya jarak untuk berinteraksi. Hampir semua tatanan kehidupan antar-individu mengalami keterhambatan, termasuk dunia pendidikan. 


Proses pembelajaran yang menjadi andalan dunia pendidikan tidak dapat berjalan mulus. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan difasilitasi media teknologi komunikasi semacam komputer tidak sepenuhnya dapat mewakili kebutuhan fisiologis maupun psikologis para peserta didik yang berinteraksi.


Sebagai aktor komunikasi, baik dalam perannya sebagai komunikator maupun komunikan, manusia merupakan sosok yang sarat dengan muatan nilai. Sesuatu nilai yang dianut manusia dapat bersumber pada budaya, tradisi, norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, atau bahkan agama dan kepercayaan. Latar belakang nilai inilah yang kemudian ikut mempengaruhi faktor persepsi ketika seseorang memaknai simbol yang diterima sekaligus merumuskan pesan yang akan disampaikan. Karena itu, pesan dalam komunikasi selalu sarat nilai, tak pernah bebas nilai.


Substansi Komunikasi


Proses komunikasi sendiri, meminjam model yang dikembangkan DeFleur (1992), hampir selalu melibatkan sekurang-kurangnya empat faktor dominant. Pertama, komunikasi akan dipengaruhi faktor latar belakang sosial budaya (socio-cultural situation) para pelakunya. Setiap aktor komunikasi merupakan individu yang tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu. Lingkungan budaya inilah yang pada gilirannya akan ikut membentuk aspek psikologis yang melekat pada perkembangan seseorang. 


Lingkungan kebudayaam Jawa, misalnya, akan membentuk individu yang berbeda dengan individu lain yang dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan Sumatra. Itulah sebabnya, untuk memperlicin jalan komunikasi antar individu yang berlatar belakang budaya berbeda, dikembangkan disiplin komunikasi antar budaya. Interracial Communication karya Andrea L. Rich (1974) dan Communicating with Strangers karya William B. Gudykunst (1992) adalah di antara contoh buku yang secara mendalam membahas dimensi perbedaan budaya dalam proses komunikasi antar manusia.


Kedua, proses komunikasi akan dipengaruhi oleh faktor hubungan sosial (social relationship) di antara para pelakunya. Dua orang yang telah lama menjalin persahabatan sehingga dapat berkomunikasi bebas dan egaliter, tiba-tiba berubah ketika salah satunya menduduki posisi “atasan” dalam suatu institusi, sementara yang lainnya masih merangkak dalam posisi “bawahan” yang terikat etika loyalitas pada pimpinan. 


Hubungan keduanya bukan lagi terikat pada relasi persahabatan, tapi terkurung dalam relasi atasan-bawahan. Etika relasi inilah yang disadari ataupun tidak disadari telah mempengaruhi faktor hubungan sosial di antara kedua pelaku komunikasi itu. Atau, untuk sebuah contoh yang lainnya, seorang siswa yang belajar dengan seorang guru yang kebetulan adalah tetangga dekatnya, akan berbeda bila ia belajar dengan seorang guru yang tidak memiliki hubungan sosial apapun.


Ketiga, proses komunikasi dipengaruhi oleh lingkungan fisik (physical surrounding) tempat di mana komunikasi itu dilakukan. Bentuk arsitektural tempat berlangsungnya komunikasi secara umum akan mempengaruhi perilaku komunikasi. Mahasiswa yang pasif berkomunikasi di ruang kelas ketika berhadapan dengan dosen yang diseganinya akan berubah ketika komunikasi itu berlangsung di ruang yang memiliki fungsi berbeda. 


Ketika bertemu di Café, misalnya, jangan heran jika mahasiswa itu berubah menjadi aktor yang paling aktif berkomunikasi. Seorang pasien akan lebih nyaman berkomunikasi dengan dokter di ruang praktek yang telah dilengkapi berbagai asesoris ketimbang di ruang kelas ketika kebetulan dokter itu memberikan kuliah. Kedua contoh ini memperlihatkan bahwa lingkungan fisik mempengaruhi proses komunikasi.


Keempat, proses komunikasi juga dipengaruhi oleh pengalaman komunikasi sebelumnya (prior communication). Pengalaman komunikasi seseorang umumnya memberikan kesan tersendiri dan tersimpan secara alamiah dalam memori yang sulit terhapus melalui pengalaman apapun yang dilalui sesudahnya. Kesan inilah yang kemudian mempengaruhi faktor persepsi ketika berkomunikasi dengan pihak yang sama. 


Jika komunikasi sebelumnya mampu memberikan kesan positif, maka ia akan menjadi salah satu faktor pendukung efektivitas komunikasi selanjutnya. Demikian pula sebaliknya. Kesan negatif akan menjadi penghambat efektivitas komunikasi. Pengalaman memang menjadi variable penting ketika seseorang mempersepsi sesuatu obyek. Setiap aktor komunikasi yang pernah terlibat dalam sesuatu kegiatan komunikasi akan dipersepsi dan sekaligus memperoleh kesan yang akan memberikan efek tertentu pada kegiatan komunikasi berikutnya.


Mencairkan Hambatan Komunikasi


Komunikasi pembelajaran selama masa Pandemi, banyak mengalami gangguan, baik itu menyangkut hubungan sosial secara personal, aktualisasi kultural secara ekspresif, maupun perwujudan fisikal pengalaman komunikasi yang diperoleh sebelumnya. Tapi, apapun yang terjadi, proses pembelajaran harus tetap berjalan. Melalui alat bantu media sekalipun. Untuk alasan-alasan itulah kemudian terjadilan kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh sebagai satu-satunya solusi yang paling mungkin dilakukan. Lalu selesaikah masalah? Tentu tidak. Banyak di antara para pelaku komunikasi mengeluhkan pengalaman pembelajaran bermedia seperti terjadi selama masa Pandemi.


Dalam perspektif komunikasi, hambatan yang paling nyata, terjadi pada aspek hilangnya kesempatan berinteraksi secara fisik di antara para aktor komunikasi, baik antar sesama peserta didik maupun antara peserta didik dengan guru/dosen sebagai fasilitator pembelajran. Tapi karena faktor ”kedaruratan” situasional, terutama menyangkut keharusan menjaga jarak di antara para aktor komunikasi, dibutuhkan media pengganti agar fungsi-fungsi komunikasi sebagai alat perekat sosial tetap terawat utuh.


Misalnya, melalui usaha-usaha menyapa di luar pemberian materi pokok pembelajaran. Ungkapan-ungkapan seperti ”selamat pagi anak-anak”, ”bagaimana kabar hari ini”, ”tetap semangat ya.., meski ancaman Pandemi ada di depan mata”, dan lain sebagainya, dapat digunakan sebagai pengisi suasana untuk mendekatkan kesadaran psikologis di antara para ator komunikasi.


Selain itu, seperti diakui sejumlah guru/dosen pelaku komunikasi, bahwa komunikasi melalui media komputer seperti umumnya praktik pembelajaran daring, diakui sangat melelahkan. Jika dibandingkan dengan praktik pembelajaran tatap muka, pembelajaran daring ini hanya sanggup bertahan sekitar 50% dari waktu yang disediakan. Sisanya, hampir sulit dikendalikan dan dikonsentrasikan pada fokus utama pembelajaran. Karena itu, pembelajaran daring butuh rileks, refreshing, tidak monoton, dan seorang guru/dosen butuh perbendaharaan tema-tema selingan sebagai pengisi suasana yang dapat mencairkan suasana komunikasi.


Komunikasi itu pada dasarnya butuh suasana rileks, lebih-lebih komunikasi bermedia seperti apa yang terjadi dalam proses pembelajaran jarak jauh. Media yang menjadi salah satu ”penghalang” komunikasi langsung (direct communication) dapat saja menjadi beban tambahan yang harus dipikul oleh para pelaku komunikasi. Itulah sebabnya, ia berefek pada suasana fisik yang agak melelahkan, baik bagi guru/dosen maupun bagi para peserta didiknya. Ujung-ujungnya, efektifitas komunikasi pun menjadi tidak maksimal. 


Komunikasi manusiawi (human communication) adalah komunikasi yang menempatkan manusia sebagai subyek secara manusiawi. Komunikasi sejatinya merupakan sebuah proses yang memerdekakan. Tidak ada tekanan-tekanan, tidak menggunakan paksaan-paksaan, semuanya sejatinya dapat berjalan secara alamiah.