Mengenal Seni Pertunjukan Gending Karesmén

Notification

×

Iklan

Iklan

Mengenal Seni Pertunjukan Gending Karesmén

Minggu, 24 April 2022 | 17:16 WIB Last Updated 2022-04-24T10:16:28Z


NUBANDUNG.ID
-- Pertunjukan Gending Karesmén memang tidak sepopuler kacapi suling, wayang golék, maupun Pop Sunda yang nyatanya lebih akrab di telinga masyarakat. Namun meski tidak sepopuler kesenian lain, Gending Karesmén merupakan sebuah bentuk seni pertunjukan yang tontonannya selalu menarik dan dinamis.

Menurut pendapat Yus Wiradiredja dalam tesisnya berjudul "Peranan Tembang Sunda Cianjuran dalam Gending Karesmén Lutung Kasarung" (2000:47), bahwa Gending Karesmén adalah sebuah seni pertunjukan dari hasil perpaduan unsur-unsur seni yang dibingkai dalam sebuah lakon cerita yang dihantarkan secara musikal oleh musik Karawitan Sunda. 

Unsur-unsur seni yang dimaksud adalah seni rupa, tari, teater dan musik (Karawitan). Dalam konteks ini, musik yang digunakan dapat dari berbagai genre mulai dari Tembang Sunda Cianjuran hingga wanda anyar.

Bentuk Gending Karesmén diperkirakan muncul sekitar tahun 1920-an atau pada jaman kolonial Belanda. Pada saat itu, ada sebuah pertunjukan yang bernama Toneel (sandiwara dalam bahasa Belanda). Toneel merupakan sebuah bentuk seni pertunjukan yang media penyampaian dialognya menggunakan pola pupuh. Kesenian Toneel inilah yang ditengarai sebagai cikal bakal dari bentuk Gending Karesmén.

Sedangkan istilah Gending Karesmén itu sendiri pertama kali dicetuskan oleh Raden Machjar Angga Kusumadinata. Selain istilah Gending Karesmén, ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk menyebut bentuk kesenian ini di antaranya: drama suara, Rinéngga Sari, Sétra Karesmén, Taman Karesmén, Tunil Tembang dan lain-lain.

Biasanya, Gending Karesmén menyajikan lakon cerita yang berasal dari cerita pantun, misalnya cerita Mundinglaya Di Kusumah dan sejarah Sunda, misalnya Lakon Ceurik Oma. Namun seiring berjalannya waktu, lakon-lakon cerita yang disajikan dalam pertunjukan Gending Karesmén mengalami perkembangan. Kini, lakon yang disajikan tidak melulu terpatok pada cerita pantun atau sejarah Sunda yang sudah ada, namun bisa juga bersumber dari naskah-naskah fiksi atau naskah-naskah gubahan baru.