3 Buku Keren soal Bandung yang Perlu Dibaca urang Sunda

Notification

×

Iklan

Iklan

3 Buku Keren soal Bandung yang Perlu Dibaca urang Sunda

Minggu, 25 September 2022 | 13:08 WIB Last Updated 2022-09-25T06:17:11Z



NUBANDUNG.ID - Tepat hari ini, Minggu 25 September 2022, Kota Bandung menginjak usia ke-212 tahun yang mengangkat tema  'Bangkit Bersama untuk Bandung Juara'. Wali Kota Bandung, Yana Mulyana mengajak seluruh masyarakat Kota Bandung untuk memperkokoh ketahanan masyarakat, dalam menuntaskan pandemi dan memulihkan kehidupan ekonomi.


Salah satu cara mengokohkan ketahanan masyarakat dengan giat membaca, terutama buku-buku yang berkaikan dengan sejarah dan perkembangan Kota Kembang.


Mengutip BandungBergerak.id, dalam kesempatan ini terdapat tiga buku yang wajib dibaca


1. Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe), Penulis Haryoto Kunto, Penerbit  Granesia Bandung, Cetakan I 1996, dengan tebal 114 halaman.


Buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doele), seperti juga buku-buku Haryoto Kunto yang lain, tersaji sebagai rentetan cerita yang enteng. Dalam buku ini banyak ditemukan kisah-kisah yang lahir semata mengandalkan ingatan sang penulis. Foto-foto yang dilampirkan, yang sebagian besar tidak dilengkapi dengan cukup informasi tentang sumbernya, tidak banyak membantu.


Meski banyak ditaburi cerita ringan yang ditulis berdasarkan ingatan atau penuturan lisan yang tentu bersifat sangat subjektif, bukan berarti isi buku ini kurang pentingnya. Kesaksian-kesaksian Haryoto Kunto adalah jendela bagi kita untuk melongok Bandung di masa lalu. Memoar yang dituliskan adalah juga rekaman sosial yang layak kita tengok.


Tentang kenakalan anak-anak di masa Ramadan, misalnya, Haryoto Kunto menuliskan juga permasalahan serius yang dihadapi warga Kota Bandung waktu itu, yakni kebiasaan kebut-kebutan. Menurut sang penulis, tradisi ngebut yang dikenal dengan isitilah “ngecot” ini mulai marak sejak awal 1970-an. Di malam takbiran, aparat disokong oleh beberapa elemen masyarakat lain, harus dikerahkan untuk menjaga keamanan.


“Malah di pertengahan tahun 1970-an itu, untuk menanggulangi pengebutan di malam Lebaran, terpaksa dikerahkan beberapa panzer milik kavaleri dan satuan pemadam kebakaran,” tulis Haryoto Kunto.


Suasana malam Lebaran menjadi mencekam. Di jalan-jalan di pusat kota, mulai dari kawasan Dago hingga Braga dan Asia-Afrika, orang-orang berkerumum memberikan sorakan bagi para pengebut.


Para petugas keamanan terpaksa memblokir jalan dengan puluhan drum dan olesan tumpahan oli. Petugas pemadam kebakaran menyemprotkan air, sementara polisi melepaskan tembakan peringatan ke udara. Seorang pengebut bernama Teten terkena peluru nyasar.


Menyaksikan fenomena seperti ini, Haryoto Kunto yakin bahwa tradisi balapan jalanan di Kota Bandung akan terus berulang.


Di bab “Ngabuburit Gaya Tempo Doeloe”, Haryoto Kunto menceritakan banyak kebiasaan anak-anak Bandung di selama Ramadan yang sebagiannya kini akan sulit ditemui lagi.  Sungai Cikapundung yang “airnya masih sejuk, jernih bersih” menjadi salah satu titik favorit untuk menunggu jam berbuka puasa. Anak-anak mandi sepuasnya. Sesuatu yang tak terbayangkan sekarang!


Dari ingatan tentang mandi di Sungai Cikapundung, Haryoto Kunto bisa bercerita tentang permasalahan air bersih yang terus mendera warga Kota Bandung. Mulai dari wabah kolera di dasawarsa pertama abad ke-20 hingga pembuatan sumur-sumur bor oleh pemerintah kolonial di beberapa titik di pusat kota.


2. Pesona Sejarah Bandung - Bandung Hingga Awal Abad ke-20, Penulis M. Ryzki Wiryawan, Penerbit Layung, Cetakan I 2020 dengan tebal vi + 244 halaman.


Buku ini terdiri dari dua bagian besar yaitu Awal Mula Bandung dan Oud Bandoeng. Di bagian pertama diawali dengan pembahasan tentang terbentuknya kawasan Bandung baik secara geologis maupun secara legenda yang masih terpelihara hingga masa kini yaitu legenda Sangkuriang. Lagenda Sangkuriang secara simbolis menyiratkan beberapa hal  seputar terbentuknya Bandung yaitu terbendungnya sungai ci Tarum (Citarum), terbentuknya danau hingga terjadinya gunung Tangkuban Parahu  akibat "amarah" Sang Kuriang. 


Di bagian pertama juga dibahas mengenai manusia prasejarah yang menghuni kawasan Bandung, kemudian terbentuknya kerajaan Galuh dan Sunda, kelahiran Bandung dengan Tumenggung Wiraangunangun sebagai penguasa/bupati Bandung pertama yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Mataram. 


Saat wilayah Bandung dan Priangan masih dikuasai oleh Mataram, kawasan ini kurang mendapat perhatian dari pemerintahan pusat Mataram di Kartasura. Hal ini selain karena letaknya yang memang jauh dari pusat kekuasaan, hasil alam di Priangan tidak banyak memberikan kontribusi kepada Mataram yang saat itu sedang disibukkan dengan berbagai persoalan internal.  Yang lebih miris lagi adalah bagaimana sikap pemerintah pusat memperlakukan bupati-bupati Priangan antara lain dengan mengkaryakan para bupati Bandung dengan pekerjaan-pekerjaan yang mengelikan seperti mencabuti rumput di pekarangan keraton Mataram.


Di bagian ini sejarah kawasan Bandung dan Priangan terus bergulir. Secara kronologis dibahas mengenai kedatangan dan keruntuhan Kompeni, pemerintahan Daendels hingga kedatangan Inggris yang melanjutkan kebijakan Daendels untuk menjual tanah kepada pihak swasta dan penguasa-penguasa Jawa. Salah satunya adalah Andries de Wilde, seorang tuan tanah asal Belanda yang nantinya memiliki peran besar dalam pembangunan Priangan dan Bandung. De Wilde kelak menjadi seorang 'raja' lokal di mana setengah dari Kabupaten Bandung dimilikinya.  Kisah dari Andries de Wilde ini dibahas secara khusus di buku ini.


Pada Bagian Kedua yang diberi judul Oud Bandoeng (Bandung tempo dulu) dibahas mengenai perkembangan Kota Bandung di abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di mana kekuasaan para bupati yang tadinya sangat besar terhadap rakyatnya perlahan beralih kepada orang-orang Eropa. Dari yang tadinya berkuasa bagai raja kini hanya tinggal sebagai simbol sosial dan pegawai kolonial yang menerima gaji dari pemerintahan Belanda. Di antara bupati-bupati Priangan, bupati Bandung mendapat gaji dan tunjangan 120 ribu gulden, 3-6 kali lipat lebih besar dibanding bupati lainnya. 


Dalam kepeduliannya terhadap sejarah ternyata para bupati Bandung selalu mencatat sejarah daerah dan keluarganya sebagai bukti legimitasi kepemimpinannya. Bahkan Bupati Bandung RAA. Martanegara yang dikenal sangat berjasa dalam membangun pondasi Bandung menjadi sebuah kota modern, pada tgl 20 November 1918 menetapkan pembentukan "Komisi Sejarah Bandung" yang bertugas menyusun sejarah Bandung dan sekitarnya. Komisi itu berhasil membukukan empat jilid sejarah Bandung yang dikemudian hari dilengkapi oleh penerusnya.


Di buku ini juga dibahas secara khusus  dua peristiwa besar yang terjadi di Bandung di pertengahan abad ke-19 di masa kepemimpinan Bupati Bandung Wiranatakusumah III yaitu peristiwa Hura Hara Munada yang memakan korban pejabat tinggi Eropa dan peristiwa Raksa Praja.  


Transfomasi Bandung menjadi Ibu Kota Priangan juga dibahas di buku ini. Dengan dijadikannya Bandung sebagai pusat pemerintahan karesidenan, maka Bandung mulai bebenah. Lalu lintas pengunjung Bandung baik tamu pemerintah maupun swasta semakin meningkat. Hal itu memicu didirikannya hotel, restoran, bank, dan perusahaan-perusahaan dagang Eropa di Bandung. Masuknya jalur kereta api ke Bandung juga mengubah wajah Bandung menjelang abad ke-20. Dalam waktu singkat, kawasan Bandung dan sekitarnya yang juga terkenal dengan keindahan alamnya menarik banyak wisatawan untuk berkunjung.


Sebagai pelengkap buku ini menyajikan rute wisata Bandung dari Hotel Homann yang diterjemahkan dari buku Gods voor Bandoeng. Selain itu ada pula kutipan lengkap dari buku catatan perjalanan M Buys, pengelana Belanda yang menelurusi kota Bandung dan sekitarnya di akhir abad ke-19.


Buku ini diakhiri dengan potongan pengalaman William H. Sewards, pengelana asal Amerika Serikat ketika mengunjungi Bandung pada 1870 yang di antaranya memuat kesan khususnya terhadap bupati Bandung yang bertindak bagaikan raja dan pengalamannya menunjungi Curug Dago.



3. Bandoeng Waktoe Itoe jilid 1: Dari Tepi Kali Citarum ke Sisi Cikapundung, Penulis Ojel Sansan Yusandi, Penerbit ProPublic.Info, Cetakan I April 2022, dengan tebal 236 halaman.


Buku ini dibagi dalam tujuh bab yang dimulai dari bab Bandung sebelum Bandung yang membahas terbentuknya dataran Bandung secara geologis. Setelah itu dilanjutkan dengan bab Tatar Ukur dan Dipati Ukur yang membahas terbentuknya wilayah-wilayah Tatar Ukur dan Wangsanata yang kemudian diangkat menjadi Bupati Ukur yang dikenal dengan Dipati Ukur yang hingga tahun 1624 mengabdi kepada Kerajaan Mataram. 


Setelah membahas asal usul Tatar Ukur dengan rinci penulis kemudian melanjutkannya dengan pemberontakan Dipati Ukur terhadap kerajaan Mataram. Kisah pemberontakkan Dipati Ukur beserta penumpasannya yang memiliki berbagai versi dibahas dalam buku ini baik dari versi tradisional (babad Tanah Jawi, Babad Sengkala, dan Babad Nithik) yang mengisahkan Dipati Ukur dengan lebih sastrawi ketimbang historis, dan versi historis yang berasal dari catatan-catatan VOC. Kesemua versi tersebut disajikan secara rinci sehingga pembaca dapat melihat berbagai perbedaan  dari kisah-kisah Dipati Ukur


Terbentuknya Kabupaten Bandung pascamasa Dipati Ukur dengan Krapyak sebagai ibu kotanya dan penyerahan Priangan kepada VOC dibahas dalam bab selanjutnya. Melalui perjanjian-perjanjian antara raja-raja Mataram dan VOC Belanda maka sejak 1677 Bandung dan seluruh wilayah Priangan diserahkan kepada kekuasaan VOC.  Uniknya para bupatinya tetap sebagai penguasa tertinggi di Kabupaten. Tidak ada ikatan birokrasi dengan kompeni. Kompeni hanya menuntut agar para bupati mengakui kekuasaan kompeni dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Yang tidak diizinkan adalah para bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Di bab ini dibahas juga 6 bupati Bandung dimulai dari Tumenggung Wira Angun-Agun (1641-1681) hingga R.A. Wiranatakusumah II (1749-1829)


Di masa pemerintahan R.A. Wiranatakusumah II inilah ibu kota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak ke lokasi seperti sekarang. Proses pemindahan dan atas dasar apa pemindahan tersebut dibahas secara detail di bab berjudul Dari Tepi Citarum ke Sisi Cikapundung. Di bab ini juga dibahas tentang Kabupaten sebagai Istana Bupati dan tentang dua bangunan yang terdapat dalam kabupaten yaitu Pendopo dan Dalem baik secara simbolik maupun struktur bangunannya. 


Setelah membahas mengenai proses pemindahan ibu kota Kabupaten Bandung ke area alun-alun sekarang, penulis menyajikan bab khusus tentang Alun-alun dan Masjid Agung Bandung. Di bagian ini dibahas fungsi dari alun-alun secara umum khususnya Alun-alun Bandung dari masa ke masa mulai dari sebagai tempat rakyat bertemu raja untuk merpersembahkan upeti di zaman kerajaan, ajang lomba-lomba tradisional, sebagai lapangan sepak bola, hingga sebagai pusat gaul dan administratif di zaman kolonia.


Di masa lampau Alun-alun Bandung juga kerap dijadikan tempat untuk menyuarakan aspirasi politik. Di masa revolusi kemerdekaan hingga demokrasi terpimpin, Alun-alun Bandung pernah dijadikan tempat diproklamasikannya Negara Pasundan, tempat dikumandangkannya pengangkatan Ir. Sukarno sebagai Presiden seumur hidup,  hingga tempat demonstrasi mahasiswa yang menuntuk Sukarno turun dari kursi kepersidennya. 


Bangunan bagunan di sekitar alun-alun tidak luput dari bahasan penulis yaitu Bale Bandung, tempat Patih dan Jaksa Bandung mengadakan rapat, bersidang, dan menerima tamu,  tiang hukuman gantung  di pojok tenggara Alun-alun, dan kantor pos. Untuk Masjid Agung yang semula bernama Masjid Kaum Bandung dibahas  mengenai asal mula keberadaannya hingga berubahnya atap masjid dari bentuk limas (nyungcung dalam bahasa Sunda) hingga dirubah  berbentuk bawang atas prakarsa Presiden Sukarno dalam rangka dilaksanakannya Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955.

Nah, itu 3 buku keren tentang Kota Bandung. Ayo membaca karena dengan membaca wawasanmu akan semakin bertambah.