6 Tradisi Munggahan Warga Bandung Baheula. Anak Milenial Wajib Tahu

Notification

×

Iklan

Iklan

6 Tradisi Munggahan Warga Bandung Baheula. Anak Milenial Wajib Tahu

Kamis, 23 Maret 2023 | 08:30 WIB Last Updated 2023-03-23T01:30:00Z




NUBANDUNG.ID-Dalam Buku Ramadhan Di Priangan (Tempo Doeloe) karya Haryoto Kunto yang diterbitkan Granesia tahun 1996.


Jelang bulan suci Ramadan orang menyebut waktu isi sebagai saat "munggah." Asal kata unggah adalah "naik", "meningkat" ke atas.


Konon, kata orang tua zaman baheula, menjelang bulan puasa itu roh (arwah) nenek moyang (karuhun) dan almarhum kerabat yang terkait di dunia ini, pada saat itu mendapat hidayah kesempatan untuk "naik" ke hadirat Tuhan. Sebagian orang mengartikan "munggah" sebagai saat untuk "meningkatkan" iman dan takwa kepada Allah Swt dengan cara melakukan ibadah sebaik-baiknya di bulan puasa ini.





1. Membuang Air Kembang Tujuh Warna dan Melemparkan Kue Apem


Sejak saudara kita etnis Jawa di Bandung, pada saat munggah sering kita dapati, orang membuang air kembang tujuh warna di tengah-tengah perempatan jalan. Ini dimaksudkan sebagai pengganti ziarah ke makam leluhur nan jauh di sana.


Selain itu, malam menjelang puasa, orang Jawa sering melemparkan kue apem (semacam surabi) dengan uang logam sen, benggol (lima picisan) yang dibenamkan pada kue itu ke atas genting. Tentu saja, nanti anak-anak yang suka main layangan di atas genting, bakal menemukan uang logam tadi. Lumayan buat candil, tajil berbuka puasa.





2. Ziarah dan Membersihkan Kuburan


Dalam adat di Priangan, orang membersihkan kuburan menjelang senja pada hari pertama dan menabur bunganya dilakukan pada saat (setelah) lebaran. 


Mengingat bahwa Ramadan merupakan saat bertapa sebulan lamanya, mencegah makan-minum, berbuat maksiat dan laku bicara yang tercela, maka sebagian warga Kota Bandung yang doyan makan mengawali munggah dengan acara makan-makan bersama.





3. MEOK (makan enak omong kosong) dan Botram


Acara makan-minum bersama ini dikenal dengan istilah botram yang sering diselenggarakan di tempat wisata, alam terbuka (sawah, ladang, daerah indah pegunungan), di kebun milik pribadi.Tentunya, kegiatan Meok (makan enak omong kosong) tadi berlangsung meriah, di seling sempal guyon penuh kegembiraan


Tradisi botram ini sekarang jarang dilakukan lagi oleh warga Kota Bandung, kecuali masyarakat daerah pinggiran, penduduk kota kecil di pedalaman.





4.  Gotong Royong dan Bersih-bersih Desa


Memang sebulan sebelum memasuki bulan Ramadan, secara gotong royong warga kampung menata dan membersihkan perkuburan sekaligus menziarahi makam para leluhur dan handai tolan.


Kemudian diteruskan dengan gotong royong "bersih-bersih desa" yang meliputi perbaikan lorong, jalan kampung, membersihkan selokan, mengecat (mengapur) pagar, bagunan dan membersihkan halaman dan lingkungan kampung. 


Jadi tidak seperti sekarang orang mengapur bangunan dan membersihkan lingkungan bila menyambut perayaan 17 Agustus. Tapi dulu, hal itu dilakukan orang dalam rangkaian menyambut bulan suci (bersih) Ramadan. 




5. Jalan-jalan ke Pasar Baru


Data lama mengungkapkan, pada masa lalu Kota Bandung ini  merupakan gudangnya orang doyan jajan makanan, sehingga Bandung tercatat memiliki restoan dan warung makan yang banyak, dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Jawa.


Pada masa lalu bagi keluarga yang kelewat sibuk, maka tak usah jauh-jauh "botram" ke luar kota Cukup menggiring seluruh anggota keluarganya makan-minum sepuasnya di restoran. Menyongsong datangnya bulan Ramadan, orang tua bisanya mengajak orang seisi rumah untuk jajan makanan di Pasar Baru.


Pasar Baru di Kota Bandung sekitar tahun 1935 dinyatakan sebagai pasar paling bersih dan teratur di seluruh kota-kota di pulau Jawa. Jam 13.00 siang pasar baru telah bersih di cuci lantainya. Sedangkan sampah dan kotoran licintandas diganyang petugas. Lalu sejak jam 15.00, para penjaja aneka makanan mulai menggelar dagangannya.


Kami yang masih bocah cilik, boleh memilih sendiri santapannya. Boleh makan gado-gado olahan Bi Atjim, soto mie dagangan orang tegal di pintu masuk pasar baru, makan sate gule Bah Ojie di sebelah belakang pasar. Namun yang istimewa digemari oleh orang tua dulu adalah hidangan soto pakai santan yang dimasak dalam kawali gabah tanah liat.


Buat perut anak-anak, semangkuk mentung soto penuh daging ayam, dihiasi tebaran kerupuk Cikoneng tentu kelewatan banyak. jadi cukup setengah porsi. Soto santan yang lezat terletak di seberang toko Bebek kayu itu banyak langganannya, sehingga orang musti sabar antri menunggu.


Setelah makan-makan di pasar baru, anak-anak dibawa jalan-jalan window shopping melengok barang-barang di toko Eropa, Aurora, De Zon, toko ABC, Tjioda (toko Royal) dengan janji, bila anak-anak tamat puasa 10 hari pertama dapat insentif dibelikan tas sekolah beserta alat tulis lengkap. Tamat 10 hari berikutnya dapat sepatu baru dan ganjaran puasa 10 hari terakhir berupa satu stel baju baru.



6. Ngabedahkeun Balong dan Kongkurs Lelang Ikan


Acara lainnya yang menarik dalam rangka menyambut bulan Ramadhan, di kawasan Kota Bandung tempo doeloe adalah, menguras empang ikan (Sunda: ngabedahkeun balong) dan kongkurs lelang ikan.


Seperti kita ketahui, kawasan selatan Kota Bandung baheula banyak dijumpai balong atau empang ikan. Seperti yang terdapat di Buahbatu, Cigereleng, Ancol, Leuwipanjang, Tegallega, Pasirkoja dan Jl. Kopo. Nah, pada hari-hari menjelang bulan Ramadhan, banyak peternak ikan, yang umumnya para tuan tanah dan saudagar Bandung, menguras balong ikannya.


Selain dijual di Pasar Ikan Cigereleng (kini Jl. Moh. Toha dekat PT Inti), hasil tangkapan bibit ikan Emas yang istimewa ukuran, berat, warna dan kebugarannya, diperlombakan dalam sebuah kongkurs, untuk akhirnya dilelang kepada masyarakat umum.


Ikan Emas yang umumnya diperlihara lebih dari satu tahun, sering kali diberi nanla kesayangan, seperti : Si Geboy, Si Nyonya, Si Nona, Si Kumpay, Si Oneng, Si Randa Midang dan lain-lain. Saking sayangnya si pemilik ikan emas dari Pasirkoja, kepada "Si Nyonya" peliharaannya, sirip ikan itu dipasangi anting emas sepasang.


Kini anak milenial sudah tahu 6 tradisi munggahan warga Bandung Baheula yang masih dikerjakan sampai sekarang.