Pola Pengasuhan Generasi Digital

Notification

×

Iklan

Iklan

Pola Pengasuhan Generasi Digital

Rabu, 26 Juli 2023 | 09:23 WIB Last Updated 2023-09-06T06:45:30Z


NUBANDUNG.ID
- Anak-anak kita adalah pemilik zaman. Anak-anak kita berbeda dengan orang tua mereka. Anak-anak adalah digital native, sementara orang tua tidak seadaptif anak-anak mereka dalam menggunakan teknologi digital.


Mereka tidak perlu belajar keras untuk bisa mengoperasikan handphone dan segala isinya. Mereka dapat dengan sangat mudah menggunakan berbagai aplikasi di dalamnya. Mereka menjadi pemilik teknologi digital sehingga dapat dengan cepat berselancar dan belajar banyak hal melalui internet.


Kesenjangan antara orang tua dan anak dalam pengasuhan seringkali menjadi masalah. Orang tua seringkali sulit memahami perkembangan anaknya dan anak sering menganggap orang tua sebagai sosok yang kuno. Orang tua merasa bahwa apa yang pernah dialami adalah situasi dan kondisi yang ideal, padahal pada masa anak tumbuh, terjadi perubahan yang luar biasa.


Seperti pada masa pandemi Covid-19, perkembangan teknologi berlangsung dengan masif. Kebutuhan kita semua terlayani dengan teknologi. Saat orang tua masih memiliki kenangan yang lekat dengan masa kecilnya, di sisi lain, kondisi lingkungan yang menyertai tumbuh kembang anak sudah sangat berubah.


Orang tua memiliki harapan terhadap anak, namun kondisi anak tidak selalu sama atau tidak selalu linear dengan harapan orang tua. Begitu pula dalam hal pemanfaatan teknologi, orang tua berharap tidak ingin anak terlalu dekat.


Sementara anak memiliki ketergantungan terhadap penggunaan teknologi, baik untuk sekolah maupun untuk menjalankan kehidupan sehari-hari seperti memesan transportasi maupun makanan. Di antara tantangan dampak penggunaan gawai adalah pengaruh pada aspek kelekatan sosial dan rasa tanggung jawab.


Kesadaran literasi digital penggunaan gawai masih lemah. Ketika anak akan belajar sepeda, orang tua memberi wejangan dan mendampingi. Namun ketika anak menggunakan gawai, orang tua merasa tidak perlu mengajari. Ada kemungkinan juga orang tua tidak percaya diri mengajari anak dalam hal informasi dan teknologi.


KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menemukan bahwa 79% orang tua tidak memiliki perjanjian penggunaan gawai dengan anaknya. Akibatnya, anak dapat berselancar sebebas-bebasnya.


Anak seringkali tidak memahami dengan baik bahwa ada perbedaan antara dunia maya dan dunia nyata. Dalam pendidikan anak, kesadaran bahwa ada perbedaan antara dunia maya dan dunia nyata ini sangat penting dan perlu diajarkan sehingga anak tidak mengalami efek negatif dari berselancar di dunia maya. Fakta menunjukkan bahwa setidaknya, ada dua dampak negatif yang terlihat, yaitu rasa tanggung jawab dan kelekatan sosial.


Rasa Tanggung Jawab


Rasa tanggung jawab pada generasi digital native seringkali dianggap luntur. Tayangan dan tontonan di media sosial dianggap signifikan dalam mempengaruhi. Misalnya saja, ada seorang anak yang jatuh. Sebagian besar anak yang ditanya mengenai apa respons yang akan mereka lakukan jika melihat hal itu adalah akan tertawa. Hal ini menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap sesama yang masih kurang. Bukan tidak mungkin itu dipengaruhi oleh apa yang anak tonton.


Berbuat salah atau keliru di dunia maya seperti tidak memiliki konsekuensi yang nyata. Misalnya, anak bermain game dan salah mencapai sasaran atau target. Konsekuensi yang diterima adalah bisa mengulang dan masih ada nyawa cadangan. Kalau itu berlaku di dunia nyata, apa yang dilakukan dapat berakibat fatal. Mungkin saja anak belajar bahwa ada kesempatan kedua. Meskipun demikian, ada potensi anak menjadi tidak bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dilakukan.


Anak-anak digital native kurang mengalami proses berjuang yang berdampak pada rasa tanggung jawab. Mereka lebih memiliki kesempatan untuk memilih sesuai keinginan. Mereka bebas memilih hal yang diinginkan, misalnya jenis musik, topik ngaji, hingga hiburan yang ingin dinikmati.


Kondisi tersebut dapat berdampak pada rendahnya daya juang yang berefek domino terhadap kurangnya rasa tanggung jawab dalam diri anak. Jika anak tidak memiliki rasa tanggung jawab, sangat mungkin menjadi masa bodoh, tidak peduli, tidak memiliki rasa bersalah, tidak memikirkan pantas dan tidak pantas, serta tidak memikirkan dampak dari tindakan yang dilakukan.


Sejatinya, setiap anak perlu diberikan latihan untuk bertanggung jawab. Untuk dirinya sendiri, ia perlu bertanggung jawab terhadap segala kebutuhan yang disesuaikan dengan umurnya. Anak balita diajarkan membuang sampah, makan sendiri, mengambil minum, dan mengembalikan piring kotor ke dapur.


Bagi anak yang sudah lebih besar, ia perlu belajar memikul tanggung jawab di dalam keluarga, misalnya menyiram tanaman, menyalakan dan mematikan lampu luar, menyapu, membersihkan kamar, serta pekerjaan lain yang sesuai dengan usianya. Keseimbangan belajar bertanggung jawab di dunia nyata harus terus didampingi agar anak belajar bertanggung jawab.


Kelekatan Sosial


Keasyikan anak di dunia maya seringkali mengurangi waktu bersosialisasi. Pada masa pandemi, survei KPAI menemukan bahwa ada kurang lebih 25% anak yang bermain game lebih dari 5 jam di luar belajar. Catatan ini tentu menggambarkan keasyikan anak bermain dengan dirinya sendiri. Situasi tersebut menyebabkan anak lambat laun menjadi lebih nyaman dengan dirinya sendiri. Hal ini tentu akan berdampak pada kemampuan anak dalam bersosialisasi.


Kelekatan sosial menjadi tantangan signifikan karena ketika gawai di tangan, anak-anak cenderung lebih banyak bersosialisasi secara virtual. Sebaliknya, dunia nyata mengajarkan tentang kelekatan sosial yang perlu dibangun.


Kalau kita memperlakukan orang dengan tidak baik di dunia nyata, kemungkinan besar orang tersebut akan merespons secara langsung. Reaksi tersebut dapat teramati secara langsung melalui raut muka, respons fisik, maupun verbal.


Sebaliknya di dunia maya, anak berpotensi besar tidak terlatih dalam merasakan pola komunikasi, interaksi, dan reaksi atas tindakannya secara langsung. Di sinilah anak belajar tentang pentingnya memiliki ikatan sosial hingga memiliki kelekatan sosial. Anak akan belajar tentang pentingnya berteman secara offline dan memiliki kelekatan sosial secara baik.


Minimnya anak hadir dan berteman secara langsung di dunia nyata menyebabkannya kurang memiliki kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan kemampuan seorang anak menyampaikan pendapatnya secara langsung, memberikan respons kepada pendapat orang lain, dan berkomunikasi dua arah secara simetris.


Anak juga belajar mengelola emosi ketika menerima pendapat orang lain, merespons pendapat orang lain, serta bersikap asertif untuk menyampaikan apa yang ia suka dan tidak suka. Selain itu, ia juga belajar membangun kepercayaan dengan orang lain, menghargai, serta bersosialisasi dengan baik.


Anak perlu diajarkan memiliki kelekatan sosial yang baik dengan orang yang ada di sekelilingnya. Kelekatan sosial sebenarnya hadir sejak anak bayi. Kelekatan sosial sangat tergantung pada orang-orang di sekeliling anak yang ia percaya.


Efek dari kelekatan sosial adalah kenyamanan anak sehingga anak merasa diterima di lingkungannya. Kelekatan sosial tidak hanya di dalam keluarga, namun juga di lingkungan tempat anak tumbuh. Dengan bersosialisasi, anak akan tumbuh dengan baik serta dapat menyelesaikan konflik yang ia hadapi.


Pada akhirnya, kita semua menyadari bahwa gawai adalah bagian yang nyaris tak terpisahkan dari dunia anak-anak digital native. Oleh karena itu, kita perlu mengupayakan literasi digital, bukan hanya tentang bagaimana mengoperasikan gawai, namun juga etika penggunaan dan pergaulan yang dimediasi gawai, hingga efek positif dan negatifnya.


Orang tua juga perlu membuat aturan penggunaan gawai agar anak-anak produktif berselancar di dunia maya. Dengan demikian, walau anak-anak bermain gawai, sejatinya kita semua tetap harus mendidik mereka dalam membangun kelekatan sosial dan rasa tanggung jawab. Allahu ‘alam.


Penulis: Rita Pranawati, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Majelis Hukum dan HAM PP ‘Aisyiyah, Dosen FISIP Uhamka