Guru Besar UIN Bandung: Pemilu harus Diniatkan seperti Shalat

Notification

×

Iklan

Iklan

Guru Besar UIN Bandung: Pemilu harus Diniatkan seperti Shalat

Jumat, 09 Februari 2024 | 17:42 WIB Last Updated 2024-02-09T10:42:27Z

 



NUBANDUNG.ID -- Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Prof. Bambang Qomaruzzaman mengatakan bahwa pemilu harus diniatkan seperti melaksanakan shalat, yakni bersih dari sifat dengki dan benci demi menciptakan kedamaian.

“Pemilu harus diniatkan seperti shalat. Diawali dengan suci dari kedengkian dan kebencian, dilakukan dengan terus-menerus menghadirkan yang ilahi, dan diakhiri dengan hasil yang menciptakan damai bagi seluruhnya,” kata Bambang dikutip dari Antara, Jumat (9/2/2024).

 

Menurut Bambang, agama dapat menjadi panduan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah perbedaan pilihan politik. Dalam Islam, kata dia, terdapat konsep yang bisa dijadikan model kontestasi pemilu yang damai.

 

Salah satu konsep tersebut adalah fastabiqul khairat yang berarti berlomba-lomba dalam kebaikan. Melalui konsep ini, ujar dia, masyarakat Indonesia bisa merasakan proses pergantian kepemimpinan dengan aman dan damai.

 

Fastabiqul bukan duel yang harus mengalahkan, membuat malu, atau mematikan lawan. Istabaqa dibangun atas kesadaran ada banyak yang baik, karena itu harus dicari mana yang terbaik,” tuturnya.
 

Agama juga mendorong terciptanya pemimpin

 

adil dan berintegritas yang mampu memimpin bangsa dengan penuh kedamaian. Sebab itu, Bambang yakin pemilu damai tidak mustahil selama tiap pihak yang terlibat menghadirkan ajaran agama pada segala langkahnya.

“Siapa pun yang menampakkan kepemilikan karakter keadilan dapat dipilih menjadi pemimpin. Siapa pun itu. Pada Pemilu 2024, ketiga capres dan cawapres memiliki posisi dan peluang yang sama di mata Islam,” imbuh dia.
 

Ketiga pasangan calon perlu dinilai sebelum dipilih. Ia mengingatkan bahwa seharusnya tidak ada satu pun calon yang dianggap mewakili Islam atau bahkan memonopoli agama tertentu dan menggunakan pseudo-dogma itu untuk memenangkan dirinya sendiri.

 

“Pada perhelatan ini, rakyat bertindak sebagai juri dalam musabaqah (perlombaan). Tentulah ada pilihan yang berbeda, sesuai dengan selera dan tingkat pemahaman terhadap calon. Perbedaan pilihan seharusnya tidak membuat yang satu membenci yang lain, semuanya hanyalah ikhtiar ijtihadi,” katanya.

Lebih lanjut, Bambang mengajak masyarakat untuk mengedepankan perdamaian di atas perbedaan politik karena kedamaian lebih penting dari kemenangan sesaat.

 

Dia pun mengingatkan bahwa perbedaan pilihan adalah hal yang pasti dalam pemilu. Namun, perbedaan tersebut seharusnya tidak menjadi benih pertengkaran.

 

“Kita harus menjadikan perbedaan kiblat pilihan sebagai ajang fastabiqul khairat (berusaha menjadi yang pertama dalam setiap kebaikan)," harapnya.

 

Terakhir, ia berpesan agar penyelenggara pemilu juga mendorong terciptanya suasana damai dengan tidak melakukan tindakan yang dapat memancing kecurigaan.

 

“Para capres-cawapres harus tampil sebagai sosok penuh kedamaian, karena ucapan dan perilakunya dapat menginspirasi para pendukungnya. Paslon yang ucapan dan perilakunya memancing kedamaian, dialah yang memenangkan fastabiqul khairat," tandas Bambang.