![]() |
Oleh: SUKRON ABDILAH, Pegiat Masyarakat Menulis
NUBANDUNG.ID -- Waktu pertama kali saya mencoba menulis artikel opini untuk media online, rasanya campur aduk: antara bersemangat, gugup, dan takut ditolak.
Saya hanya seorang mahasiswa biasa, bukan jurnalis profesional, tapi ada keresahan yang ingin saya bagikan. Bagaimana caranya agar suara saya bisa didengar lewat media besar?
Dari situlah perjalanan saya dimulai.
Awal Mula: Menemukan Isu yang Layak Diangkat
Semuanya bermula ketika saya membaca berita tentang kebijakan pendidikan yang menurut saya kurang tepat. Di ruang kelas, teman-teman banyak mengeluh, tapi tak ada yang menyuarakan.
“Kenapa tidak aku tulis saja?” pikir saya.
Namun, menulis opini bukan sekadar menumpahkan isi hati. Saya sadar, artikel opini yang baik butuh argumen kuat. Maka, saya mulai mengumpulkan data: statistik dari kementerian, kutipan ahli, bahkan pengalaman nyata dari teman-teman mahasiswa.
Proses Menulis: Dari Coretan ke Artikel
Malam itu, saya menyalakan laptop dan mulai mengetik. Awalnya berantakan.
Saya menulis panjang lebar tanpa arah. Tapi setelah membaca beberapa artikel opini di Kompas dan Tempo, saya mengerti bahwa kuncinya ada pada struktur:
- Pembukaan – harus menarik perhatian. Saya membuka tulisan dengan pertanyaan: “Apakah sistem pendidikan kita benar-benar siap menghadapi era digital?”
- Isi – saya susun argumen logis, diperkuat dengan data.
- Penutup – saya tawarkan solusi: integrasi teknologi dengan pelatihan guru.
Butuh tiga kali revisi sampai saya merasa artikelnya cukup rapi.
Tantangan Terbesar: Mengirim ke Media
Menulis ternyata lebih mudah daripada mengirim. Saya sempat bingung: ke mana artikel ini harus saya tujukan? Setelah browsing, saya menemukan bahwa banyak media punya rubrik opini dan mencantumkan alamat email redaksi.
Saya memberanikan diri mengirim ke salah satu media nasional. Di email, saya tulis subjek: “Artikel Forum: Lestarikam Leuweung Geuledeugan”, tentang kearifan lokal yang ada di tatar Sunda. Saya sertakan biodata singkat: nama, kampus, dan bidang yang saya tekuni.
Jujur, setelah klik tombol send, saya deg-degan.
Menunggu Jawaban Redaksi
Dua hari, tiga hari, seminggu. Tak ada kabar. Saya hampir menyerah. Tapi ternyata, ini hal biasa. Redaksi menerima ratusan opini setiap minggu.
Baru setelah dua minggu, saya dapat balasan: “Terima kasih sudah mengirimkan tulisan. Artikel Anda menarik, namun perlu dipadatkan menjadi maksimal 900 kata.”
Deg! Rasanya seperti ditolak, tapi sebenarnya bukan. Itu kesempatan. Saya revisi sesuai arahan, memotong bagian bertele-tele, lalu mengirim ulang.
Momen yang Tak Terlupakan
Pagi itu, seorang dosen saya mengirim pesan SMS: “Eh, namamu ada di Kompas Jawa Barat hari ini! Selamat ya”
Saya langsung membuka website. Dan benar, di sana terpampang artikel opini pertama saya. Rasanya luar biasa—campuran bangga, haru, dan lega.
Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa menulis opini bukan sekadar menuangkan pikiran, tapi juga soal memahami pembaca, disiplin mengikuti aturan media, dan pantang menyerah.
Pelajaran Berharga dari Perjalanan Ini
Dari pengalaman pribadi tersebut, saya bisa merangkum beberapa poin penting yang bisa jadi tutorial ngirim artikel opini ke media:
- Pilih isu yang relevan dan sedang hangat.
- Lengkapi argumen dengan data dan fakta.
- Ikuti struktur penulisan: pembukaan, isi, penutup.
- Sesuaikan gaya bahasa dengan karakter media.
- Baca dan ikuti pedoman media.
- Jangan takut revisi atau bahkan ditolak—itu bagian dari proses.
Setiap orang punya cerita, dan media online memberi ruang agar suara kita bisa didengar publik. Mengirim artikel opini memang butuh keberanian, tapi hasilnya bisa berdampak besar.
Jadi, kalau Anda punya keresahan, gagasan, atau solusi, jangan simpan sendiri. Tulis, kirim, dan biarkan opini Anda jadi bagian dari percakapan publik. ***