NUBANDUG.ID -- Ini salah satu foto favorit saya dari ribuan dokumentasi Yayasan Odesa: anak-anak duduk di tikar, mendengarkan cerita dari relawan. Sementara ibunya juga ikut mendengarkan. Setiap Sabtu dan Minggu, para relawan kami menyusuri dusun-dusun terpencil. Mereka mendongeng, bercerita, berdiskusi, menumbuhkan rasa ingin tahu anak-anak yang hidup dalam keterbatasan.
Banyak dari dusun ini adalah blank spot—tidak tersentuh siaran TV, radio, apalagi internet. Di tengah ledakan informasi dunia digital, anak-anak dari keluarga pra-sejahtera ini justru semakin tertinggal. Maka Odesa mengandalkan storytelling sebagai medium membangkitkan imajinasi: "You can be anything under the sun." Selama matahari masih bersinar, mereka harus percaya bahwa masa depan terbuka luas.
Sayangnya, paradigma kita selama ini seringkali menyamakan pemerataan pendidikan dengan pendirian bangunan sekolah. Jika anggaran tidak tersedia, atau jumlah murid dianggap terlalu sedikit, pembangunan sekolah pun dibatalkan. Padahal, akar persoalannya jauh lebih dalam. Pendidikan bukan soal bangunan, tapi soal akses. Dan akses berarti hadirnya pendidik, hadirnya program belajar, yang mampu menjemput mereka yang terpinggirkan oleh keadaan.
Inilah titik mula dari pendekatan Empathy Education—pendidikan berbasis empati. Kita tidak bisa terus-menerus menunggu anak-anak datang ke sekolah yang jauh, mahal, dan kadang tidak ramah. Sebaliknya, justru kita yang harus datang kepada mereka.
Empati berarti membawa pendidikan ke tengah realitas hidup masyarakat miskin, menjadikannya sesuatu yang dekat, mungkin, dan membangkitkan semangat. Bentuknya bisa bermacam-macam: kunjungan rutin relawan, guru keliling, atau model pembelajaran hybrid—menggabungkan teknologi digital dengan pendekatan luring yang sederhana.
Negara-negara lain telah melakukannya. Di Brasil, program Escola Itinerante menghadirkan guru-guru yang mengajar di komunitas terpencil Amazon menggunakan perahu motor. Mereka membawa buku, bahan ajar, dan semangat belajar ke komunitas yang sebelumnya nyaris terisolasi.
Di Kenya, program Mobile School mengubah bus menjadi ruang kelas berjalan. Dengan itu, anak-anak di kawasan miskin kota dan pinggiran tetap bisa belajar. Negara-negara ini tidak menunggu infrastruktur sempurna—mereka justru menjadikan ketidaksempurnaan sebagai alasan untuk berinovasi.
Pendidikan sejatinya adalah hak dasar. Tapi ketika kita mendengar kisah anak tukang becak, anak petani miskin, atau anak penggali kubur yang berhasil jadi sarjana, kita menangis haru. Media memberitakan: “Ini keajaiban!”
Tapi sebenarnya, keajaiban itu pertanda bahwa sistem kita belum adil. Karena dalam sistem yang adil, anak dari latar belakang apa pun semestinya punya peluang yang sama—tanpa harus menempuh perjuangan luar biasa yang membuatnya disebut "ajaib".
Yang kita butuhkan bukan keajaiban. Yang kita perjuangkan adalah keadilan. Dan keadilan pendidikan tidak bisa direduksi hanya pada pemerataan sekolah. Jika pendidikan terus disamakan dengan sekolah fisik, maka negara akan selalu menunggu anggaran dan angka murid sebelum bertindak. Padahal, keadilan adalah soal kemauan politik dan keberpihakan sosial.
Kini saatnya kita menata ulang cara pandang: bahwa pendidikan tidak hanya soal ruang kelas, tapi soal ruang hidup. Bahwa belajar tidak hanya terjadi di gedung sekolah, tapi di mana pun ada orang yang peduli dan bersedia hadir.
Mewujudkan pendidikan berbasis empati berarti membuka hati dan langkah untuk menjangkau mereka yang selama ini tidak terjangkau. Dan ketika itu terjadi, kita tidak lagi bergantung pada keajaiban. Kita sedang membangun masa depan yang adil—untuk semua.
Sudah 80 tahun kita merdeka. Kalau dulu nasionalisme kita terbentuk karena kesamaan nasib sebagai manusia yang direndahkan oleh penjajah, saatnya empati menjadi perekat bangsa. Love my country, you are too beautiful to neglect.
Budhiana Kartawijaya, Founder dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Odesa Indonesia.