Misi Rahasia Gen Z di Muka Bumi

Notification

×

Iklan

Iklan

Misi Rahasia Gen Z di Muka Bumi

Selasa, 02 Desember 2025 | 19:25 WIB Last Updated 2025-12-02T12:25:55Z


NUBANDUNG.ID -- Bayangkan sebuah film superhero, tapi tanpa CGI, tanpa soundtrack Hans Zimmer, dan tanpa kostum keren. Superheronya? Ya, siapa lagi, kalau bukan kita — para Gen Z. Senjata andalan kita bukan kekuatan super, tapi koneksi Wi-Fi, resume di Canva, dan kemampuan multitasking antara kerja, kuliah, dan healing. Misi kita? Menyelamatkan Indonesia dari jebakan usia produktif—menjadi agen bonus demografi.


Gen Z lahir di antara tahun 1997 sampai 2012 — generasi yang tumbuh bersamaan dengan Wi-Fi, media sosial, dan isu eksistensial. Kita adalah generasi pertama yang belajar mengetik sebelum menulis indah, mengenal “stalking” sebelum “silaturahmi”, dan merasa bersalah kalau tidur siang karena “belum produktif”.


Ketika generasi sebelumnya membangun infrastruktur, kita membangun “personal branding”. Saat mereka bercita-cita jadi PNS, kita bermimpi jadi “content creator yang punya dampak sosial tapi juga cuan.” Tapi di balik kejenakaan digital itu, ada tugas monumental yang menunggu: memanfaatkan bonus demografi.


Bonus Demografi, Tapi Rasa Tantangan


Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan bahwa pada periode 2030–2040, Indonesia akan memiliki sekitar 64 persen penduduk usia produktif (15–64 tahun) dari total populasi. Ini artinya negara kita bakal kebanjiran penduduk dengan usia produktif. Secara teori, ini adalah masa keemasan. Secara praktik? Ya... seperti dapat “cashback” tapi cuma bisa dipakai di toko yang tutup. Hehehe


Bonus demografi ini ibarat “beli satu gratis satu” dari semesta: jumlah tenaga kerja produktif melimpah, tapi hanya bermanfaat kalau kualitasnya bagus. Artinya latar belakang pendidikan, skill, dan kesehatan mental jadi kunci. Sayangnya, banyak Gen Z masih terjebak dalam paradoks “kerja keras tapi tetap miskin” dan “banyak peluang tapi bingung harus mulai dari mana”.


Di dalam survei LinkedIn (2024), ada sekira 72 persen Gen Z Indonesia merasa overqualified tapi underpaid. Di sisi lain, hampir 60 persen perusahaan mengeluh soal skill gap—alias gap antara kemampuan pekerja dan kebutuhan industri. Jadi siapa yang salah? Jawabannya kompleks: sistem pendidikan, disrupsi teknologi, dan mungkin juga kita yang terlalu sering scroll TikTok “5 cara cepat kaya tanpa modal.”


Salah satu ciri khas Gen Z adalah idealisme. Kita percaya dunia bisa diselamatkan — asal sinyalnya stabil. Tapi ketika masuk dunia kerja, realitas datang dengan notifikasi keras: gaji UMR, target berlipat, dan atasan yang masih minta laporan diketik di Word, bukan Notion.


Kita ingin kerja bermakna, tapi tagihan listrik dan cicilan iPhone tetap menagih. Di sinilah dilema eksistensial Gen Z terjadi: ingin hidup autentik, tapi harus tetap adaptif. Kita hidup dalam dunia yang memuji inovasi, tapi masih menilai orang dari gelar. Kita ingin fleksibilitas kerja, tapi juga stabilitas finansial. Dan tentu saja, semua itu harus dibungkus dengan caption Instagram yang filosofis: “Still figuring things out, but grateful.”


Beberapa angka bisa membuat kita merenung sejenak (atau overthinking lagi): 21 persen Gen Z di Indonesia masih menganggur atau bekerja tidak sesuai bidangnya (BPS, 2024). 1 dari 3 Gen Z mengaku mengalami burnout sebelum usia 25 (Survei Katadata Insight, 2023). Sementara itu, 80 persen Gen Z percaya bahwa pendidikan formal saja tidak cukup untuk sukses di era AI.


Kita hidup di dunia yang bergerak terlalu cepat. Skill yang hari ini relevan bisa usang tahun depan. Profesi baru bermunculan setiap bulan—dari “AI Prompt Engineer” sampai “Virtual Influencer Manager.” Dunia kerja sudah berubah jadi arena gladiator digital: siapa yang cepat belajar, dia pasti bertahan.


Tapi jangan salah, di tengah kekacauan itu, Gen Z juga sedang mengubah paradigma kerja. Kita mempopulerkan konsep remote work, side hustle, dan mental health day. Kita menolak norma lama yang menganggap kerja keras harus berarti lembur tanpa henti. Kita percaya bahwa produktivitas dan kebahagiaan tidak harus berseberangan.


Menjadi agen bonus demografi bukan berarti harus jadi pahlawan nasional yang muncul di buku sejarah. Terkadang, itu berarti berani mengambil langkah kecil tapi berkelanjutan: belajar skill baru, membangun jaringan, menjaga kesehatan mental, atau bahkan sekadar belajar berkata “tidak” pada ekspektasi yang tidak realistis.


Kita tidak sedang hidup di era “satu jalan menuju sukses”. Dunia kini adalah labirin peluang. Ada yang sukses lewat coding, ada yang lewat stand-up comedy, ada pula yang lewat jualan tautan sambal di TikTok. Intinya bukan di mana kita memulai, tapi bagaimana kita terus beradaptasi.


Bahkan, menurut laporan McKinsey (2024), setiap investasi di pendidikan keterampilan digital menghasilkan peningkatan produktivitas hingga 25 persen. Jadi, jika bonus demografi ingin benar-benar jadi bonus, bukan beban, maka investasi terbesar adalah pada manusia—yakni kita sendiri.


Humor Sebagai Survival Kit


Mungkin inilah alasan mengapa Gen Z begitu lihai membuat meme. Humor adalah bentuk ketahanan mental. Di tengah ketidakpastian ekonomi, algoritma yang berubah tiap minggu, dan ekspektasi sosial yang menyesakkan, kita memilih tertawa. Tidak selalu karena lucu, tapi karena itu cara paling manusiawi untuk tetap waras.


Ketika dunia terasa seperti tab Excel penuh error, kita menyelipkan jokes: “Kalau gagal jadi bagian bonus demografi, minimal jadi bagian dari statistik unik.” Lucu? Tidak selalu. Tapi di situlah kekuatan Gen Z—mengubah kecemasan menjadi kreativitas.


Bonus demografi bukan hanya soal angka, tapi tentang arah. Apakah kita akan jadi generasi produktif yang menciptakan inovasi, atau generasi lelah yang hanya jadi bahan survei? Jawabannya tergantung bagaimana kita menyeimbangkan tiga hal: kompetensi, koneksi, dan kesadaran diri.


Kita punya modal besar: akses informasi tanpa batas, kemampuan berpikir kritis, dan empati sosial yang tinggi. Tapi semua itu butuh keberanian untuk konsisten. Karena pada akhirnya, dunia tidak butuh generasi yang sempurna—melainkan generasi yang mau terus belajar.


Jadi, jika suatu hari kamu merasa lelah menghadapi dunia yang menuntut terlalu banyak, ingatlah: kamu bukan hanya sedang bertahan, kamu sedang menjalankan misi sejarah. Dan meskipun tidak ada soundtrack epik di balik perjuanganmu, percayalah—bonus demografi ini tidak akan jadi “bonus” tanpa kamu di dalamnya.


Menjadi Gen Z di era bonus demografi adalah seperti main game level hard tanpa tutorial. Tapi bukankah itu yang membuat permainan ini seru? Kita adalah generasi yang bisa memadukan idealisme dan pragmatisme, teknologi dan empati, kerja dan tawa. Dan mungkin, justru dengan humor, refleksi, dan secangkir kopi sachet, kita bisa menulis babak baru sejarah Indonesia—dengan gaya kita sendiri. ***


SUKRON ABDILAH, Penulis dan Ideapreneur