NUBANDUNG.ID -- Pembunuhan anak oleh orangtua kandung (filisida) terjadi di Kabupaten Bandung. EN (34) bunuh diri setelah membunuh dua anaknya. EN meninggalkan surat dalam bahasa Sunda yang isinya mengeluh soal utang suaminya.
Yang harus kita sadari adalah bahwa filisida cukup marak dalam lima tahun terakhir ini. KPAI mencatat, 2024 saja ada 60 kasus filisida, Artinya 5-6 kasus per bulan Terbanyak memang dilakukan ibu kepada anaknya. Motifnya macam-macam, tapi sumbernya sama: tekanan hidup. Keluarga miskin itu rata-rata terjebak overindebtness atau gali lubang tutup lubang. Pinjam uang untuk bayar utang lama, bukan untuk kegiatan produktif.
Bila keluarga terhimpit kemiskinan, perempuanlah yang berada di garis depan kerentanan dibanding pria. Di belakang perempuan ada anak, ada dapur yang harus ngebul, ada biaya pendidikan, token listrik, dan banyak hal lain lagi. Belum lagi kalau ditagih bank emok, stresnya makin menekan. Tragedi EN itu bukan sesuatau yang tiba-tiba, tapi proses panjang tekanan psikologis.
Saya sih berpendapat, pemberdayaan perempuan bukan hanya mengajak mereka untuk berwiraswasta UMKM, tapi juga memberikan ruang aman bagi mereka. Ruang aman itu adalah:
1. Harus diciptakan kegiatan berkomunitas: pengajian, tani pekarangan bersama, arisan, olahraga, karaoke, dan lain-lain.
2. Setiap desa/kampung/kelurahan sebaiknya ada tempat penitipan anak komunal (community-day care), sehingga ibu-ibu keluarga pra sejahtera punya banyak waktu untuk diskusi, curhat sesama sampai pelatihan ekonomi.
3. Harus ada kelompok curhat dan konseling yang rahasia dan setara. Ibu-ibu bisa bercerita tanpa takut dihakimi. Moderator/fasilitator harus dilatih untuk mendengar secara empatik.
4. Membangun koperasi perempuan atau arisan produktif agar tekanan ekonomi tidak dipikul sendirian. Dengan cara ini utang bisa dihindari dan usaha kecil bisa tumbuh.
5. Pojok literasi keuangan keluarga di balai desa/kelurahan. Mengajari ibu-ibu memisahkan kebutuhan dan keinginan, membuat cadangan darurat, dan tidak mudah terjebak “bank emok”.
6. Solidaritas praktis antaranggota. Misalnya kas darurat untuk anggota yang sakit, sistem barter jasa (jaga anak, bantu masak, antar jemput sekolah), atau gotong royong saat ada yang menghadapi masalah.
7. Perlindungan hukum dan advokasi. Komunitas perlu tahu jalur bantuan pemerintah, layanan pengaduan KDRT, atau lembaga hukum, sehingga perempuan merasa terlindungi.
Kita tahu, pemerintah terbatas geraknya. Tapi pemerintah bisa menjadi dirigen untuk mengaktifkan lembaga masyarakat seperti masjid, gereja, badan zakat, CSR organisasi filantropi dan lain-lain. Ini adalah gotongroyong dalam platform modern,
Kehidupan kota begitu keras, ekonomi kapitalis semakin mencekik kaum miskin. Maka kewajiban kita adalah melindungi rumah tangga warga agar tahan secara ekonomi dan mental, serta memberikan ruang aman.
Jangan sampai ada lagi filisida di kota kita atau di manapun juga di tanah air ini. Kasus EN sebetulnya menampar wajah kita semua.
Budhiana Kartawijaya, Odesa Foundation.
Catatan: Foto di bawah adalah upaya Yayasan Odesa membangun tani pekarangan untuk memperkuat ekonomi keluarga, sekaligus menguatkan kesehatan mental dan memberi ruang aman bagi kaum ibu pra sejahtera.