Gen Z sebagai Watchdog Ketimpangan Sosial ////]]>

Notification

×

Iklan

Iklan

Gen Z sebagai Watchdog Ketimpangan Sosial

Jumat, 19 September 2025 | 07:26 WIB Last Updated 2025-09-19T00:27:29Z
Affiliasi

 



NUBANDUNG.ID -- Entah siapa yang membuatnya, akun IG @cabinetcouture_idn kini rutin memposting barang-barang mewah yang dipakai para pejabat atau keluarganya. Sudah pasti bukan karya generasi baby boomers seperti saya, melainkan hasil kreativitas generasi zilenial atau Gen Z.


Gen Z punya playing field sendiri yang berbeda dari generasi tua. Dulu, pilar keempat demokrasi adalah pers. Orang-orang seperti saya merasa cukup gagah mengontrol negara lewat media. Tapi lama-kelamaan, media arus utama juga dikuasai para pengusaha dan ketua partai politik.


Anak Gen Z lain cerita. Mereka adalah brand enthusiast sejati. Mereka paham dunia barang mewah: bisa membedakan mana barang ori (OG), re-issue, atau KW. Mereka tahu harga, tahu edisi terbatas (limited edition) atau tidak. Diskusinya intens, tapi bukan di Facebook—melainkan di Instagram atau platform yang sedang naik daun: Discord.


Namun, para pemimpin negara tampaknya salah membaca pesan mereka. Presiden Jokowi pernah bilang: “Jangan pamer! Jangan flexing!” Padahal Gen Z ingin mengatakan hal lain: “Dengan gaji seperti itu, kok bisa beli barang semahal ini?” Pesannya bukan sekadar soal pamer, tetapi soal jangan korupsi.


Karena itu, para pejabat sipil, polisi, militer, dan keluarganya harus berhati-hati. Gen Z akan memelototi setiap barang yang Anda pakai—baju, jam tangan, tas, jas, ikat pinggang, cincin, kalung, kacamata, mobil, motor, tarif hotel, hingga kelas pesawat. Di tengah kesenjangan sosial yang makin lebar, mereka menuntut para pejabat melayani rakyat dengan empati, bukan memamerkan kemewahan.


Akun IG @cabinetcouture_idn adalah bentuk kontrol baru terhadap penyelenggara negara. Mereka saling berdiskusi di dunia maya soal brand, dan dengan bantuan AI (akal imitasi), semua jenis barang makin mudah dilacak. Politisi konvensional tak akan mampu menandingi kecepatan Gen Z. Lihat saja di Nepal: lewat diskusi di Discord, Gen Z mendorong Sushila Karki menjadi perdana menteri baru—tanpa pemilu panjang, sidang-sidang, atau KPU.


Politisi lawas mengandalkan press release; Gen Z cukup bikin meme. Politik lama bertumpu pada kekuasaan vertikal pejabat dan partai; Gen Z membangun kekuatan horizontal. Demo 1998 digerakkan oleh BEM, serikat buruh, dan ormas, sementara demo Gen Z digerakkan platform. Aktivis ’98 berorasi di TV, radio, dan koran; Gen Z cukup mengibarkan bendera One Piece dengan lambang tengkorak.


Politisi lawas pun bingung: “Kok tiba-tiba ada bendera One Piece?” Padahal itu bahasa protes Gen Z. Mereka punya kosakata sendiri di dunia cloud, bahasa yang menyindir korupsi dengan cara yang tidak dipahami generasi tua.


Saya sendiri, yang puluhan tahun berkecimpung di dunia jurnalisme dan masih jadi pengurus pusat PWI, merasa mulai obsolete. Media mainstream tak bisa lagi menandingi media sosial Gen Z sebagai pengontrol negara. BEM, serikat buruh, bahkan partai politik, tampaknya juga kian kehilangan relevansi. Jangan lupa, akan muncul banyak gerakan lain selain @cabinetcouture_idn. Satu meme saja bisa membuat lutut pejabat bergetar.


Dan gerakan Gen Z Indonesia ini ternyata juga menginspirasi gerakan serupa di Nepal, Sri Lanka, Filipina, hingga Prancis. Mereka terkoneksi lintas negara. Kalau dulu Karl Marx menyerukan: “Buruh sedunia, bersatulah!” maka sekarang relevannya: “Gen Z sedunia, bersatulah!”


Baby boomers seperti saya, tampaknya memang harus siap untuk fade away.


Budhiana Kartawijaya, Odesa Indonesia