Logika Bencana dan Ironi Narasi "Operasi Politik"

Notification

×

Iklan

Iklan

Logika Bencana dan Ironi Narasi "Operasi Politik"

Minggu, 21 Desember 2025 | 22:54 WIB Last Updated 2025-12-21T21:58:13Z

 


NUBANDUNG.ID -- Di tengah duka mendalam yang menyelimuti saudara-saudara kita di Sumatera, dengan angka kehilangan lebih dari seribu nyawa. Muncul sebuah narasi yang sangat memprihatinkan. Sebuah analisis dengan label "Big Data" mencoba menggiring opini bahwa kemarahan publik hanyalah hasil dari "operasi politik sistematis" yang didanai oleh mafia melalui ribuan akun palsu.


Sebagai masyarakat yang mengedepankan akal sehat, kita perlu membedah fenomena ini dengan lebih jernih:

1. Viralitas Organik vs Manipulasi Data

Klaim adanya pergerakan "non-organik" hanya karena besarnya volume percakapan di media sosial adalah sebuah lompatan logika yang dipaksakan. Saat sebuah tragedi menelan ribuan nyawa dan diperparah oleh komunikasi pejabat yang meremehkan fakta lapangan (menyebut bencana hanya ramai di medsos), maka reaksi publik pasti akan meledak secara serempak. Ini bukan operasi opini, melainkan solidaritas organik. Menggunakan istilah teknis untuk mendelegitimasi duka warga adalah bentuk pengabaian terhadap realitas.


2. Ironi Kayu Gelondongan dan Kelestarian Hutan

Pernyataan otoritas bahwa kayu-kayu gelondongan yang menghancurkan pemukiman warga bukanlah hasil pembalakan liar melainkan "pohon tumbang alami" sangat sulit diterima logika publik. Presiden Prabowo Subianto sering menekankan bahwa komoditas seperti Sawit adalah kekuatan ekonomi kita. Namun, kedaulatan ekonomi tidak boleh dibayar dengan kehancuran ekologi. Jika tata kelola lahan terus mengabaikan daya dukung lingkungan, maka bencana akan terus berulang. Mempertanyakan kerusakan hutan adalah upaya menjaga amanat Presiden untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, bukan pesanan "mafia".


3. Ego Sektoral di Tengah Krisis Kemanusiaan

Sangat ironis melihat sikap pemerintah yang menolak bantuan luar negeri di saat rakyat sedang bertaruh nyawa. Pernyataan Mendagri yang meremehkan tawaran bantuan medis dari Malaysia, hingga kebijakan mengembalikan bantuan beras dari Uni Emirat Arab (UEA) dengan dalih "stok dalam negeri cukup", menunjukkan adanya ego sektoral yang kaku. Di lapangan, masih banyak warga kesulitan mengakses logistik dasar. Mengutamakan gengsi diplomatik di atas urgensi perut rakyat yang kelaparan adalah kebijakan yang jauh dari semangat manunggal dengan rakyat.


4. Kritik "Orang Pintar" Tanpa Empati

Presiden Prabowo sering menyindir perilaku "orang-orang pintar" yang hanya bisa berteori di ruangan nyaman namun buta terhadap realitas lapangan. Hari ini kita melihat "orang-orang pintar" menggunakan gelar akademis dan statistik hanya untuk membentengi kesalahan pejabat. Ilmu pengetahuan seharusnya digunakan untuk mempercepat evakuasi, bukan untuk merancang narasi konspirasi guna membungkam kritik masyarakat yang sedang berduka.


5. Esensi Status Bencana Nasional

Desakan status Bencana Nasional bukan "framing politik", melainkan kebutuhan teknis agar sumber daya TNI-Polri dan anggaran pusat dapat dikerahkan tanpa hambatan birokrasi daerah yang sudah lumpuh. Menuduh desakan ini sebagai upaya mendelegitimasi negara adalah pengalihan isu yang tidak sensitif.


Kita tidak boleh membiarkan narasi "kambing hitam" mengaburkan evaluasi atas kegagalan sistem peringatan dini, koordinasi logistik yang buruk, dan kerusakan lingkungan. Rakyat Sumatera tidak butuh analisis tentang "siapa yang memesan tagar"; mereka butuh alat berat, bantuan medis, dan kepastian bahwa negara hadir dengan empati, bukan dengan kecurigaan.

Mari kita berhenti memuja angka-angka statistik jika nurani kita buta terhadap ribuan rumah yang tertimbun lumpur.


Ida Farida Ch, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung