NUBANDUNG.ID -- Suatu hari 1993 di pedalaman Kalimantan Barat, saya kelelahan setelah dua hari menempuh jalan darat dan sungai menuju perbatasan RI-Sarawak di kampung Aruk, Sambas. Kami istirahat bermalam di sebuah gubuk di pinggir sungai Sambas Besar.
Penunjuk jalan seorang Dayak menganjurkan saya nyebur ke sungai supaya badan segar lagi. Semula saya menolak karena airnya coklat pekat.
"Itu coklat bukan lumpur, tapi air ini membawa zat akar pepohonan. Nanti badan segar lagi," kata dia. Saya pun buka baju, dan siap nyebur ke sungai yang katanya dalamnya 10 meteran itu. Tapi sebelum nyebur, guide Dayak itu baca-baca mantera supaya tamunya ini tidak dibawa hanyut, dan dijauhkan dari ikan tapah.
Sebagai alumni perguruan tinggi yang intelek dan eks aktivis remaja masjid, dalam hati saya ngedumel tahayul, mitos, musyrik.😃😃
Tapi suér, habis nyebur badan jadi segar, makan malam enak, dan tidur nyenyak. Kayak habis berendam di air rempah 🫣🫣. Besok ya bisa jalan kaki lagi dengan semangat.
Pada kesempatan lain, kami melihat pohon-pohon besar dan tinggi. Kawan saya kemudian bertanya :"kira-kira berapa umur pohon itu?" Sambil telunjuknya mengarah ke pohon seram itu.
"Maaf, di sini kita tak boleh menunjuk hutan atau pohon!" Telunjukpun diturunkan.
Tahayul mitos, musrik lagi😃😃
Waktu berlalu...
Saya banyak meliput soal lingkungan. Pernah beberapa kali bertemu dengan tokoh Baduy, Anak Dalam Jambi, dan punya kenalan dosen di Colorado yang keturunan Indian, perlahan keangkuhan intelektual saya runtuh. Mereka mengajarkan banyak hal.
Bagi suku-suku indigenous, hutan adalah ibu. Air, tanah dan udara adalah saudara kandung. Harus dihormati, dikeramatkan, dijaga. Siklus hidup manusia adalah produksi - distribusi - konsumsi. Kita bekerja (produksi), membagi rezeki (distribusi) dan memakan (konsumsi). Pada suku indigenous selalu ada ritual pada setiap tahapan. Mau masuk hutan, mau melaut ada upacara mohon izin kepada penguasa hutan atau laut, mau membunuh hewan buruan ada minta izin, dan ada hewan yang tak boleh dibunuh. Dapat daging buruan, dibagikan kepada warga suku dengan upacara, memakan buruan juga ada ritual. Tidak boleh memburu secara serakah, secukupnya saja. Bahasa modernnya mengoptimalkan sumberdaya, bukan memaksimalkan eksploitasi.
Mau tanam padi ada upacara, mau panen ada upacara, mau menyimpan padi di lumbung ada upacara, mau memakan ada upacara (tumpengan, sunatan,dll). Ketiga tahapan disakralkan agar proses itu tetap berlangsung. bahasa ilmiahnya sustainable atau berkelanjutan.
Hidup jadi seimbang antara manusia - Tuhan/Dewa - Alam. Urang Sunda punya nilai Tri Tangtu, Bali punya Tri Hita Karana, Dayak punya Belom Bahadat. Keharmonisan tiga unsur tadi. Semua suku di nusantara punya filosofi keseimbangan tiga ini. Sejak ribuan tahun suku indigenous meyakini kalau hutan dirusak maka roh roh jahat akan ngamuk, memasuki badan manusia, menjadi sakit dan mati.
Sepertinya tahayul dan tak ilmiah ya.
Tapi pelajaran dari Afrika menunjukkan, ketika orang pintar intelektual membabat hutan maka kesimbangan alam terganggu. Virus ebola dan HIV/AIDS pun seolah keluar dari penjara jutaan tahun, berpestapora membunuh manusia. Virus nipah, virus babi, virus burung, virus Covid, Name it!
Di Bandung utara ada mitos Oraytapa. Manusia Bandung jangan membangun di sana, jangan mengeksploitasi karena ular yang sedang bertapa itu bisa terganggu dan ngamuk. Itu dianggap tahayul, maka bangunan pun berdiri di sana. Belakangan ilmu pengetahuan menemukan adanya Sesar Lembang, sebuah sesar memanjang dari Gn Burangrang sampai Manglayang. bentuknya memanjang (seperti ular). Sesar Lembang itu sekarang sesang tidak aktif (sedang bertapa). Nah banyak bangunan berdiri tepat di atas sesar Lembang.
Barulah kita waswas, padahal metafora ular bertapa itu adalah cara nenek moyang Bandung memitigasi bencana gempa.
So, siapa yang pintar duluan? Science kah atau mitoskah?
Atas nama kebenaran ilmiah, atas nama ilmu ekonomi, warisan indigenous dianggap tahayul. Tapi lihat hasil kecerdasan intelektual kita: Banjir di Sumatra. Ilmu pengetahuan dan empirisime itu katanya buat kesejahteraan dan kedamaian manusia.
Lha orang Timur nusantara dengan perangkat mitologinya bisa menjaga kedamaian beratus tahun sampai datangnya ilmu ekonomi dengan konsep memaksimalkan alam alias ekspolitasi dengan bahan bakar keserakahan. Tidak ada segitiga sakral Tritangtu, Tri Hita Karana atau Belom Bahadat. Atau Islam juga punya keseimbangan habluminallah - habluminannas - habluminal alam. Coba buka al Qashas 77.
Belakangan, ilmu pengetahuan mulai sadar bahwa empirisisme tak selalu berhasil. Lahir istilah post modernisme, semacam pertobatan atas keangkuhan ilmiahisme. Tapi kan tetap angkuh. Paham indigenous ini disebut kearifan lokal atau bahasa kerennya local wisdom.
Haahaa..tak mau menyebut itu the science of the East. Menyebutnya sebagai local wisdom itu sebagai "anomali" modernisme. Baduy, Dayak, Papua, Hmong, Aborigin, dll dianggap topping ice cream science alias hiasan. Kurang asem kan?
Belum lagi baru 1970 an lahir konsep pembangunan hijau, berkelanjutan, sustainable development goal (SDG), Enviroonment - Social - Governance, carbon trading, dlk. Ah science why are you always late?
Saya kira negara harus menguatkan hukum adat. Jasa para suku ini, tanpa kita sadari sangat besar.
Mereka penjaga air,
mereka penjaga oksigen,
mereka penjaga pangan.
Mereka penjaga ibu kita: hutan rimba.
Hormat sedalam-dalamnya kepada indigenous people. Turut menangis atas ratusan nyawa. Sungguh kabar lelayu ..
(Dan...
Para penunggu hutan rimba marah dengan menghempaskan gelondongan kayu ke depan mata negara: Batas telah dilanggar!!).
Budhiana Kartawijaya, odesa Indonesia.
Foto ilustrasi, sumber Mongabay.



