Kekerasan Pada Si “Liyan”, Bermula dari Keangkuhan Diri

Notification

×

Iklan

Iklan

Kekerasan Pada Si “Liyan”, Bermula dari Keangkuhan Diri

Rabu, 07 April 2021 | 21:58 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:53Z

Praktik kekerasan banyak diinisiasi keyakinan ortodok dan kolot terhadap kebenaran. Rigiditas pemahaman juga disinyalir sebagai pemicu lahirnya kekerasan di negeri multikultural dan multiagama, Indonesia. 

The others (keberlainan) yang niscaya dimiliki bangsa-negara (nation-state) akibatnya jadi suatu anomali terselubung yang layak diperangi.

Maka, kekerasan membabibuta terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar manusia (human basic needs) – untuk hidup damai – mengakibatkan negeri ini dicederai konflik horizontal membahayakan. Dengan dalih “atas nama” agama tertentu, kebebasan beragama dibabat secara keras dan bengis. 

Parahnya, kekerasan itu dibumbui kata-kata yang mengotori sakralitas atau kesucian agama. Kata-kata seperti “bunuh, hancurkan, darahnya halal, musnahkan, usir”, umpamanya, mengindikasikan umat belum bisa menghargai keyakinan orang lain.

Keyakinan “rigid”


Dengan mengatasnamakan “keyakinan rigid”, tidak ada kata “berkembang” bagi keyakinan-keyakinan lain. Laku lampah keras dan bengis dijadikan azas fundamental dalam praksis kehidupan sosial kemasyarakatan, kebangsaan, dan keberagamaan. Pembelaan mereka juga mengarah pada dalih “mengatasnamakan” keyakinannya untuk menumpur-ludeskan keyakinan si “liyan” (the others).

Misalnya, menghancurkan keberbedaan, keragaman, dan kemajemukan yang niscaya hadir di negeri ini. Kekerasan, bisa muncul karena dibumbui doktrinasi agama, dan ideologi politik. Dalam prespektif White Head, sebuah keyakinan doktrinal yang berasal dari Agama ternyata mampu memotivasi perilaku para penganutnya. 

Maka, jika agama dipahami sebagai ideologi yang Mahabenar, akan terjadi peminggiran terhadap eksistensi agama lain.

Tak heran jika kemudian muncul gerakan-gerakan radikal yang mengakibatkan berjatuhannya korban jiwa, sebagai “efek samping” dari fanatisisme terhadap agama tertentu. The others, dalam pemahaman penganut fanatis agama tertentu ditempatkan di luar dan diidentikkan sebagai pemahaman sesat, buruk, jahat, dan pantas dibumi-hanguskan. 

Mereka berkeyakinan bahwa pemahamannya baik, suci-bersih, dan harus tetap dilestarikan seradikal mungkin. Sementara itu, pemahaman di luar dirinya (the others) adalah tidak boleh menghirup kebebasan dan kedamaian di negeri ini.

Kejahatan versus kebajikan


Nilai kejahatan dan kebajikan diukur secara narsis sehingga menimbulkan dualisme paradoksal yang mengancam harmoni damainya kebangsaan. Begitu juga ketika mengekspresikan ajaran agamanya dalam hidup keseharian. 

Keangkuhan, kesombongan, mengklaim paling benar, dan cinta berlebihan terhadap keyakinan tafsir keagamaannya bakal memicu radikalisme laku ketika berinteraksi dengan si “liyan”.

Padahal dalam perspektif multikulturalisme, si “liyan” atau the others merupakan unsur penting keajegan realitas sosial di negeri yang terbuka dan demokratis. Maka, kesadaran terhadap si “liyan” adalah fondasi kehidupan sosial dalam menjalankan aktus kenegaraan, kebangsaan, kemasyarakatan dan keberagamaan (Abdul Munir Mulkhan, 2007).

Saya pikir, ketika umat atau bangsa tidak mengakui, megnhargai, dan memelihara keragaman pemahaman orang lain; niscaya kekerasan akan menjalar di tubuh bangsa.
Akibatnya, arogansi laku bakal mengotori bangsa kita, yang berposisi sebagai bangsa plural, majemuk, dan dihiasi keberbedaan. 

Pemahaman atau keyakinan the others bukanlah ancaman yang harus disingkirkan; tetapi terus dipelihara agar bisa berdialektika secara kolektif, sehingga melahirkan kerjasama-kerjasama kemanusiaan yang liberatif-membebaskan.

Projek antikekerasan


Mewujudkan projek antikekerasan ialah berupaya aktif menebarkan perdamaian demi tegaknya hak asasi manusia untuk hidup damai. Karena itu, memulihkan relasi sosial tanpa dikungkung aneka macam tindak kekarasan adalah satu upaya mengembalikan misi profetik yang secara substantif diusung setiap sistem sosial keberagamaan.

Rekonstruksi pemahaman berbasis etika sosial yang diramu dari setiap agama dalam tantang konfliktual di konteks keindonesiaan, adalah pekerjaan rumah para pejuang antikekerasan, sebagai hasil dari usaha kritis reflektif atas gejala kehidupan sosial yang sengkarut dengan ragam pertentangan yang jika dibiarkan dapat memuaikan ikatan kolektivisme warga negara.

Maka, gagasan pemulihan pemahaman ke arah inklusivitas dan pluralis adalah gagasan mendesak dipraksiskan, ketika banyak terjadi praktik kekerasan akibat fanatisisme berlebihan. Sebab, hembusan konflik yang menyebar di negeri ini banyak bermula dari ketidaksadaran umat beragama terhadap pluralitas pemahaman, keyakinan dan pandangan hidup. 

Tidak sadar juga bahwa kendati berbeda pemahaman, dalam setiap tradisi agama terkandung nilai-nilai kemanusiaan yang sama, yakni terciptanya realitas tatanan sosial yang damai, tentram dan sejahtera. Apalagi dalam konteks iklim keragaman yang menghiasi negeri ini.

Si “liyan” adalah sahabat dekat yang mesti diajak melakukan kerja-kerja praksis emansipatoris dalam membebaskan bangsa dari impitan ekonomi yang menyengsarakan. Mungkin, itulah nilai kebajikan, yang masih bisa menyatukan kita semua dalam keberbedaan yang niscaya.