Masa Kecil, Kok Musim Hujan Jadi Segar?

Notification

×

Iklan

Iklan

Masa Kecil, Kok Musim Hujan Jadi Segar?

Senin, 12 April 2021 | 05:51 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:51Z


“Aha…! akhirnya turun hujan”, begitulah kata si petani di kampung saya.

“Aduh…, kok hujan sih!”, ujar seorang karyawan sebuah perusahaan di Bandung.

“Alhamdulillah…, semoga air hujan sekarang tidak menjadi adzab”, nah inilah seorang ustadz yang kemarin baru melepas masa lajang ikut berpendapat.

Saya hanya bisa terdiam. Kehabisan kalimat…sebab apalagi yang harus saya katakan. Kecuali…, selamat datang musim hujan. Salah satu musim yang sering saya tunggu-tunggu ketika masa kecil dulu.
Musim, di mana saya bisa bebas menanggalkan baju untuk berlari mengelilingi perkampungan. 

Musim, di mana saya berani menceburkan diri di kubangan sawah yang dipenuhi lelumpuran hitam. Satu lagi.., musim di mana saya dapat menikmati asamnya buah kedondong di belakang rumah, milik almarhum mang Fandi. 

Sebab, buah kedondong di musim penghujan akan selalu berjatuhan dari induk pohonnya. Saya, bersama kawan-kawan dengan sigap berlari ke arah jatuhnya kedondong tersebut. Saling sikut, saling menjatuhkan, dan saling menertawakan tingkah polah.

“Bagaikan punduk merindukan bulan”, begitulah gambaran jiwa kawan saya yang tak bisa menemukan buah kedondong tersebut. 

Tapi, tak usah takut, saya yang waktu itu bertubuh gempal, akan memberikan bagian yang membuat semua tertawa. Ya, tertawa karena saya sendiri tidak mendapatkan jatah alias kehabisan karena diberikan pada kawan-kawan saya. 

Tahun 80-an ketika akses informasi tidak sederas saat ini, dunia dalam pandangan kami hanya berkisar pada kampung halaman. Kami tidak mengetahui daerah Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan daerah lainnya.

Yang kami tahu, saat itu adalah menonton acara Televisi “Flash Gordon” atau acara TVRI berseri “Si Unyil”. Pada akhir tahun 80an itulah saya pun tak tahu menahu bahwa ada bencana alam di luar kampung kami. 

Pastinya, saya tidak pernah menakuti diri dengan musim hujan. Namun kini, di musim hujan; ketika saya menginjak dewasa berkepala tiga, menyisakan beberapa titik rasa kehidupan. Resah, gelisah, dan khawatir menyelimuti diri. 

Sekarang, ketika akses informasi dapat diperoleh dalam jangka hitungan detik, via internet, saya mendapatkan kabar tentang bencana alam di musim hujan ini. Banjir di Bandung, Jakarta, Tangerang, dsb; longsor terjadi di daerah Garut Selatan; dan gempa bumi setiap saat mengancam negeri kita.

Kini, hujan melahirkan berbagai reaksi akibat beragamnya kepentingan manusia. Bagi si petani, musim hujan adalah musim bercocok tanam; bagi si karyawan hujan adalah semacam gangguan yang dapat menghalangi perjalanan; dan tentunya kita mesti berpegang pada pendapat si ustadz, “air (musim) hujan semoga tidak menjadi perantara adzab dari Tuhan.”

Selama kita masih memperlakukan alam sekitar secara arif dan bijaksana, selama itu pula kita akan mendapatkan perlindungan dari-Nya. Benarkah Tuhan akan memberikan perlindungan pada kita semua? Tanya saja pada rumput yang bergoyang…oke. Hahaha!

Atau, tanya saja pada diri sendiri, kemanakah Anda membuang sampah? Di buang ke tong sampah ataukah ke aliran sungai dan selokan yang ada di sekitar kampung? Siapakah yang Anda salahkan ketika musim hujan tiba, daerah Anda banjir? Pemerintahankah? Perilaku pengotoran drainase? Ataukah air yang diturunkan ke bumi?

Anda yang bijaksana pasti mengetahui jawabannya. Jadi, tak salah apabila masa kini, di kampung saya, jarang melihat anak-anak yang berlari-lari di luar rumah ketika musim hujan tiba. 

Nyanyian pada musim hujan yang berbunyi, “Hujan sing gede..karunya ka budak gede” (hujan membesarlah..kasihan pada anak dewasa) kini tak pernah saya dengarkan keluar dari suara-suara tak berdosa anak-anak. 

Hmmm…, saya jadi rindu dengan masa kecil di musim hujan nih…, ketika melihat ke luar air hujan sedemikan deras, hehe, maunya saya buka baju ini dan berlari keluar menembus air hujan yang sweger…dwinginnnnnn!