Sejarah Setiabudi Disebut Kawasan Ledeng

Notification

×

Iklan

Iklan

Sejarah Setiabudi Disebut Kawasan Ledeng

Senin, 24 Januari 2022 | 15:48 WIB Last Updated 2022-01-24T08:48:05Z

NUBANDUNG.ID
- Kalau kamu jalan-jalan ke arah Lembang dari Kota Bandung, pasti melewati kawasan Setiabudi juga Ledeng. Kawasan Setiabudi Kota Bandung bagian atas identik dengan sebutan kawasan Ledeng. Area ini menjadi akses penghubung antara Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat.

Tapi, nama Ledeng sekarang lebih disematkan pada kawasan sekitar Terminal Ledeng dan Jalan Sersan Bajuri. Jalan itu menjadi area perlintasan kendaraan menuju kawasan Lembang yang terdapat banyak tempat wisata.

Ada sejarah cukup panjang ternyata dibalik penamaan Ledeng tersebut. Dulu, di daerah sekitar dibangun banyak pipa-pipa berukuran besar untuk menyalurkan air dari area utara ke kawasan sekitar. Sebab, area utara Bandung dulu memiliki sumber air yang sangat melimpah.

”Air yang melimpah ini disadap dan dialirkan melalui saluran pipa-pia besar ke kawasan sekitarnya,” kata pengasuh Komunitas Aleut Ridwan Hutagalung.

Pipa-pipa besar itu dibangun di zaman kolonial Hindia-Belanda antara tahun 1920-1923. Penamaan Ledeng sendiri tidak resmi dan belum diketahui sejak kapan. Tapi, penggunaan nama Ledeng diperkirakan dipakai warga sekitar setelah adanya pipa besar di sana.

”Pipa-pipa berukuran besar ini yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya nama Ledeng dari kawasan tersebut,” ucapnya.

Ledeng sendiri berasal dari bahasa Belanda, yaitu ”leiding” yang berarti saluran. Tapi, kemungkinan terjadi pergeseran nama menjadi Ledeng karena sulitnya mengucapkan ”leiding” oleh masyarakat.

”Sampai sekarang pipa-pipa ini masih tertanam dan dipakai sebagai saluran pembagian air ke permukiman penduduk,” tutur Ridwan.

Sebelum bernama Ledeng, kawasan sekitar memiliki nama Cibadak hingga 1920-an. Nama Cibadak merujuk pada adanya mata air besar di sana. Tapi, tidak diketahui persis apakah dulu terdapat banyak badak di kawasan sekitar atau tidak.

Nama Cibadak sendiri bisa jadi merupakan persegeran atau perubahan dari kata dalam bahasa Sunda, yaitu ”cai badag” atau air yang volumenya besar atau banyak. Dulu, sumber-sumber air di sana sangat melimpah berdasarkan cerita turun-temurun. Air itu dimanfaatkan untuk kebutuhan warga sekitar.

Sumber: Beritabaik.id