Abdul Muis, Pahlawan Nasional Pertama, Jurnalis dan Sastrawan

Notification

×

Iklan

Iklan

Abdul Muis, Pahlawan Nasional Pertama, Jurnalis dan Sastrawan

Sabtu, 20 November 2021 | 14:44 WIB Last Updated 2021-11-20T07:46:13Z


NUBANDUNG
- Abdul Muis, atau Abdoel Moeis (ejaan lama) merupakan nama besar jurnalis yang sampai saat ini dikenal sebagai sosok yang berpengaruh di masa kolonial Belanda.


Ia banyak terjun di dunia media cetak hingga panggung politik untuk melawan kekejaman bangsa penjajah terutama di wilayah Bandung dan Garut, Jawa Barat.


Tak sampai di situ, pejuang kelahiran Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat 3 Juni 1883 itu juga seorang sastrawan, dengan karya besarnya berjudul "Salah Asuhan" yang jadi ujung tombak kemajuan novel di Indonesia ketika itu.


Sosoknya yang penuh keberanian, menghantarkan putra Datuk Tumenggung Lareh tersebut menjadi pahlawan nasional pertama yang dinobatkan oleh Presiden Soekarno usai dua bulan meninggal dunia.


Sempat Belajar di Sekolah Eropa Rendah hingga Jadi Ahli Bahasa Belanda


Sebelum menapaki jejak di bidang jurnalistik, Abdul Muis sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Eropa Rendah bernama Eur. Lagere School (ELS). Kemudian ia berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Stovia selama 3,5 tahun (1900-1902), namun tidak selesai karena sakit.


Kendati memiliki catatan pendidikan yang kurang memadai, dengan ketekunannya ia mampu memperdalam kemampuan berbahasa Belandanya hingga menjadi piawai.


Orang-orang Belanda turut mengakui kemampuan berbahasa Belandanya melebihi rata-rata orang Belanda itu sendiri.


Jadi Orang Pribumi Pertama yang Bekerja di Kantoran


Atas kemampuan berbahasa Belanda yang di atas rata-rata itu, Mr Abendanon, Directeur Onderwzjs (Direktur Pendidikan) di Departement van Onderwijs en Eredienst yang membawahi Stovia turut mengangkatnya menjadi klerk (pekerja kantoran).


Di masa itu belum ada orang prihumi yang diangkat sebagai klerk. Abdul Muis merupakan orang indonesia pertama yang diberi kepercayaan untuk menduduki jabatan klerk.


Namun, selama bekerja di sana banyak kalangan Belanda yang tidak suka. Ia pun memilih berhenti di tahun kedua bekerja (1903-1905) karena tidak betah.


Kiprah Jurnalistik hingga ke Panggung Politik


Abdul Muis kemudian memilih untuk menekuni pekerjaan lainnya, mulai dari bidang sastra, jurnalistik hingga ke ranah politik. Jejak awal ke dunia wartawan pun dilakoni Muis dengan menjadi dewan redaksi di majalah politik Bandung bernama Bintang Hindia tahun 1905.


Namun dua tahun kemudian, majalah tersebut dibredel pemerintah. Hingga akhirnya ia pindah ke bidang pertanian di Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung.


Sayangnya, sikap tegasnya tak disukai mandor (Belanda) di sana, hingga ia diberhentikan secara hormat setelah 5 tahun bekerja akibat cekcok dengan controleur pada 1912.


Dunia jurnalistik pun kembali ia tekuni setelah De Prianger Bode, koran Belanda pada saat itu menerimanya sebagai pegawai korektor hingga diangkat menjadi hoofdcorrector (korektor kepala). 


Merasa belum mendapatkan yang ia inginkan, Abdul Muis kembali keluar untuk terjun ke ranah politik dan bergabung di Serikat Islam (SI). di sana ia dipercaya A.H. Wignyadisastra, ia dipercaya memimpin Harian Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung.


Kiprahnya turut menonjol, usai dipercaya sebagai utusan SI ke negeri Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie Weerbaar di tahun 1917. Sejak itu, ia cukup dikenal sebagai sosok yang kerap bertentangan dengan kepentingan Pemerintah Belanda.


Adapun beberapa media massa juga sempat ia buat, yakni Harian Kaum Kita (Bandung) dan Mimbar Kita (Garut).


Jadi Tokoh Politik dan Sastra yang Berpengaruh


Setahun kemudian, tepatnya di 1918, ia kembali ke Indonesia untuk mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda, terkait pertahanan RI. Termasuk mendirikan tempat pendidikan bernama Technische Hooge School (sekarang Institut Teknologi Bandung atau ITB), dan ikut bekerja di dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan).


Salah satu buah pemikiran penolakan terhadap penjajah ia tuangkan melalui pemberontakan oleh anak buahnya di organisasi bernama PPPB (Perkumpulan Pegawai Pegadaian Bumiputra). Di sana ia mengajak bawahannya untuk mengadakan pemogokan di Yogyakarta karena menentang kebijakan yang sewenang-wenang.


Selama menjadi pemberontak ia juga menuangkan berbagai pemikirannya, melalui karya novel yang disebut berpengaruh di masanya.


Diketahui karya besarnya adalah "Salah Asuhan", dengan tema sastra prosa yang dianggap segar ketika banyak tema mengangkat kisah lawas. Di karya tersebut, ia memilih tema yang berbeda dan dekat dengan anak mudah (patriotis) yakni cinta, dendam dan cita-cita.


Mengutip dari kanal mooibandoeng, sepanjang hidupnya ia hanya berhasil menuliskan empat buah novel yakni Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh, Surapati, dan Robert Anak Surapati.


Sisa hidupnya banyak ia gunakan untuk berkecimpung di dunia persuratkabaran di wilayah Parahyangan (Bandung dan Garut).


Pahlawan Pertama


Setelah berkutat di berbagai pergerakan, Abdul Muis meninggal dunia di Kota Bandung pada 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung.


Menariknya, setelah dua bulan kematiannya ia lantas ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional yang pertama di Indonesia, berdasarkan Keputusan presiden No. 218 Tahun 1959 tertanggal 30 Agustus 1959.


Selanjutnya tradisi pemberian gelar kepahlawanan terus berlanjut ke tokoh-tokoh yang dianggap berpengaruh di tahun tahun berikutnya.