Perdamaian dan Gerakan Antikekerasan

Notification

×

Iklan

Iklan

Perdamaian dan Gerakan Antikekerasan

Minggu, 29 Agustus 2021 | 12:26 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:17Z

Kekerasan adalah sebentuk pelanggaran terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) yang mengakibatkan bertebarannya konflik hingga pada ambang batas yang bikin khawatir. Kekerasan juga dapat berproduksi jadi dua stigma yang bertentangan yakni kekerasan “dapat diwujudkan” dan “dapat dielakkan”.

Kekerasan muncul acapkali dibumbui doktrinasi Agama tertentu, politik kekuasaan, dan perbedaan etnis. Menurut Galtum, seperti yang dikutip oleh Hagen Berndt, perdamaian dalam arti keadilan sosial dan implementasi hak-hak manusia jauh melebihi soal tidak adanya perang. Berarti, perdamaian dalam konteks pemikiran Galtum adalah tidak adanya kekerasan fisik yang bersifat langsung dan struktural (Hagen Berndt, Agama yang Bertindak; Kesaksian Hidup dari Berbagai Tradisi, Kanisius, 2006).

Dalam perspektif White Head, sebuah keyakinan doktrinal yang berasal dari Agama ternyata mampu memotivasi perilaku para penganutnya. Maka, ketika Agama dipahami oleh seseorang sebagai ideologi yang maha benar, akan terjadi The Class of Civilization (meminjam istilah Samuel P Huntington). 

Tidak salah jika kemudian muncul kekerasan mengatasnamakan Agama dengan embel-embel surgawi yang mengakibatkan berjatuhannya ribuan bahkan jutaan korban jiwa, imbas dari gerakan radikalisme ini. Hal demikian sangat bertentangan dengan cita-cita para tokoh antikekerasan yang lebih tertarik mengejawantahkan nilai-nilai keyakinannya dengan berpedoman pada stigma bahwa kekerasan “dapat dielakkan”.

Memulihkan relasi


Proyek antikekerasan tidak semata-mata menjauhkan diri dari kekerasan, tidak juga berarti diam atau non-aktif, bahkan tidak sama sekali mesti pasif. Namun, berupaya aktif menebarkan perdamaian di seluruh dunia demi tegaknya hak asasi manusia untuk menghirup udara damai. Karena itu, memulihkan relasi sosial-kemasyarakatan tanpa dikungkung aneka tindak-tanduk kekerasan adalah salah satu usaha pengembalian misi profetik yang secara substantif diusung sistem sosial keberagamaan manapun.

Membicarakan sumber antikekerasan dalam seluruh tradisi agama-agama di dunia seperti Yahudi, Kristen, Islam, Hindu dan Budha; barangkali menjadi kewajiban bagi setiap pemeluknya untuk menghindari penyalahgunaan doktrin Agama sebagai sumber legitimasi kekerasan. Sebab, pemahaman agama berulangkali jadi mediator kekerasan dan mendorong orang beriman yang formalistis untuk memercikkan “api” konflik.

Oleh sebab itu, gagasan pemulihan berbasis etika religius terhadap tanta ngan-tantangan konfliktual di konteks dan ruang waktu tertentu adalah tema sentral dari gerakan antikekerasan, sebagai hasil dari upaya kritis atas gejala kehidupan yang sedemikian karut marut dengan ragam pertentangan yang dapat memuaikan ikatan persaudaraan antar sesama manusia.

Maka, rekonstruksi masyarakat ke arah pemahaman multikulturalistik adalah gagasan imajinatif dan argumentatif, ketika banyak terjadi peristiwa yang mengindikasikan mencuatnya gejala kekerasan di tubuh bangsa. Sebab, hembusan konflik yang menyebar ditubuh bangsa ini banyak bermula dari ketidaksadaran warga akan pluralitas pemahaman, keyakinan dan pandangan hidup.

Gerakan antikekerasan


Kendati sering dipandang berbeda, namun dalam setiap tradisi agama di dunia terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Pun setelah para Nabi menyebarkan ajaran kemanusiaan, ternyata masih ada penggantinya ( dari agamawan) yang tidak terbuai doktrinasi Agama untuk melakukan kekerasan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai religius dan kemanusiaan.

Tokoh dari tradisi agama Islam yang kerap dijadikan sentra pengkajian gerakan antikekerasan era kontemporer diantaranya adalah: Farid Essack, sang pejuang toleransi dan penggagas dialog agama-agama di dunia. Abdul Ghaffar Khan, penganut ajaran sufistik “kiri” yang menghamba pada-Nya dengan cara melakukan perubahan-perubahan kondisi sosial-politik negerinya dengan kebeningan hati. Dan, masih banyak lagi tokoh yang memiliki kesamaan pandangan hidup dengan mereka.

Sementara itu, tokoh-tokoh dari kalangan tradisi Agama Kristen adalah sbb: Martin Luther King, bapak reformasi rigiditas (kebekuan) ajaran-ajaran Kristen sehingga mengalami ketercerahan peradaban yang amat mencengangkan. Dorothy Day, Carlos Filipe Ximenes, Belo, Adolfo Perez Esquivel, Hildegard, dan yang lainnya merupakan beberapa tokoh dari tradisi Kristen yang berkonsentrasi mengkaji dan mengamalkan wacana antikekerasan dan antikemapanan.

Tokoh-tokoh tradisi Agama Yahudi adalah: Joseph Abileah, Halina Birenbaum, Martin Buber, Natan Hofshi, lalu Jeremy Milgron merupakan tokoh Agama Yahudi yang bervisi serta bermisi memerjuangkan kebebasan dengan jalan damai tanpa menggunakan kekerasan yang dapat memecah belah persatuan antar manusia di seluruh dunia.

Dari tradisi Agama Hindu kita bisa menyebutkan beberapa nama yang dengan ajaran damainya mampu mengusir kolonialis tanpa pertumpahan darah yang terus-menerus hingga India sebagai sebuah Negara terjajah dapat melepaskan diri dari kungkungan bangsa “asing”. Diantaranya: Suderlal Bahugama, Vinoba Bhave, Mahatma Ga ndhi, dan Jayaprakash Narayan adalah tokoh yang berkonsentrasi penuh memerangi kekerasan dengan jalan damai atau lebih terkenal dalam penjabaran gagasan “Swadesi” Mahatma Gandhi.

Pun tradisi agama Budha, kita akan menemukan ajaran agung Budhisme yang menebarkan cahaya damai dalam bentuk sikap dan tindakan yang dapat mengangkat derajat kemanusiaan sehingga bisa terealisasinya kehidupan tanpa kekerasan. Orang-orang besar tersebut adalah, Aung San Suu Kyi, Dalai Lama XIV, Maha Ghosanadaria, Stella Tamang, dan Thich Nhat Hahn; orang-orang yang memancarkan cahaya keluhungan personal yang menyejukkan jiwa.

Oleh sebab itu, merefleksikan dan menjabarkan gera kan antikekerasan adalah jalan pertama menuju terwujudnya wawasan baru yang manusiawi yang terlihat jelas dalam suatu interaksi sosial kemasyarakatan yang dihiasi kedamaian sikap dan tindakan. Itulah sebenarnya wujud dari kearifan tradisi agama antikekerasan.