Ada Kolam Cinta di Purtil, Stasiun Radio Pemancar Pertama se-Asia Tenggara

Notification

×

Iklan

Iklan

Ada Kolam Cinta di Purtil, Stasiun Radio Pemancar Pertama se-Asia Tenggara

Minggu, 19 Desember 2021 | 18:47 WIB Last Updated 2021-12-19T11:47:38Z



NUBANDUNG – Alkisah sekitar 1595, Linscosten berhasil menemukan beberapa tempat di Pulau Jawa yang bebas dari kekuasaan Portugis. Lokasi tersebut banyak menghasilkan rempah-rempah yang bisa diperjualbelikan di pasar internasional.


Tidak lama berselang, tiba di Indonesia empat buah kapal dagang dari Belanda di bawah pimpinan Corrnelis de Houtman. Tujuan kedatangan mereka tidak lain untuk menguasai Pulau Jawa. Mereka pun berhasil mewujudkan keinginannya dan kekuasaan mereka pun meluas sampai ke daerah Bandung Selatan.


Hingga kini, jejak para penjajah masih terasa di kawasan Bandung Selatan, khususnya di lokasi Objek Wisata Gunung Puntang yang dikelola oleh pihak Perhutani. Di Desa Puntang, Kecamatan Cimaung, Kab Bandung itu ada puing-puing bekas pemukiman Belanda di masa kolonial. Masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan sebutan “Purtil”.


Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda,di Gunung Puntang pernah didirikan Stasiun Pemancar Radio Malabar yang dibangun pada 1917-1929. Puing-puingnya masih terlihat sampai sekarang sebagai bukti sejarah yang tak terbantahkan. ”Stasiun pemancar tersebut adalah stasiun radio pemancar pertama se-Asia Tenggara,” tutur Mulyadi, salah seorang petugas objek wisata Gunung Puntang.


Komplek stasiun pemancar radio tersebut sudah lama hancur. Kita hanya bisa melihat sisa-sisa keberadaannya dalam bentuk puing-puing yang berserakan. Belum diketahui secara pasti kapan, oleh siapa dan mengapa kantor pemancar radio ini dihancurkan. Mungkin saja dihancurkan oleh tentara Jepang ketika pertama datang ke Indonesia atau bisa juga akibat sabotase dari para pejuang Indonesia, terutama saat peristiwa Bandung Lautan Api.


Kawasan Gunung Puntang jadi terkenal karena didalamnya terdapat Stasiun Pemancar Radio yang dirintis oleh Prof.Dr. De Groot pada 1923. Menurut Mulyadi, pemancar radio ini bisa berfungsi dengan bantuan tenaga listrik dari Gunung Malabar (Pangalengan) yang terbentang sepanjang dua kilometer.


Selain itu, di kawasan ini terdapat juga bekas kolam yang dikenal dengan julukan “Kolam Cinta”. Kolam yang didirikan tepat di depan kantor pemancar radio itu berbentuk hati. Mungkin hal inilah yang membuat masyarakat menamainya dengan julukan tersebut.


Sayangnya kemegahan kolam yang dulunya menjadi tempat favorit para meneer dan noni Belanda untuk berkumpul menikmati keindahan pemandangan Gunung Puntang, kini hanya tinggal kenangan. Meskipun denyutnya masih bisa kita rasakan, tetapi secara kasat mata hanya tersisa bekas kemegahannya.


Kondisi Kolam Cinta ini sebenarnya tidak begitu parah. Bangunannya masih terbilang utuh,meskipun tidak terurus. Beberapa dinding kolam ada yang mengalami kerusakan kecil. Andai saja kolam ini direnovasi dan diaktifkan kembali, bukan mustahil bisa memancing kedatangan lebih banyak lagi wisatawan yang berkunjung ke objek wisata bersejarah ini.


Tidak jauh dari lokasi Kolam Cinta, terdapat sisa-sia bangunan tempat pemukiman para meneer Belanda yang bertugas di kawasan ini. Bangunan tersebut kini sudah hampir rata dengan tanah dan sekarang tinggal sisa-sisa puingnya yang sering dijadikan sebagai tempat bermain perang-perangan oleh pecinta olahraga paintball. Selain itu juga terdapat goa tempat menyimpan barang-barang penting ketika Jepang menyerang Indonesia.


Jika dulu kawasan Gunung Puntang dipakai sebagai tempat pemukiman penjajah Belanda, kini berubah bentuk jadi wahana wisata alam yang menyajikan berbagai fasilitas seperti sarana camping, warung, mushola, toilet, dan jembatan gantung.


Jika anda ingin berkunjung ke lokasi tersebut, biayanya cukup murah. Hanya dengan biaya Rp10.000 perorang anda sudah bisa menikmati keindahannya. Jika membawa motor, dikenakan biaya tambahan sebesar Rp.2.500 permotor. Kalau anda ingin berwisata sambil mengenal sejarah, mengapa tidak berkunjung ke Objek Wisata Gunung Puntang? 


[By: Dara Nur Fitria]