Menitipkan Orang Tua ke Panti Jompo

Notification

×

Iklan

Iklan

Menitipkan Orang Tua ke Panti Jompo

Kamis, 04 November 2021 | 09:59 WIB Last Updated 2021-11-04T05:38:52Z


Oleh: H. Budhiana Kartawijaya, 
 Jurnalis Senior, Spesialis Media & SocioPreneur.


NUBANDUNG - Dunia maya sedang rame soal lansia. Ibu Trimah (65) yang oleh anak-anaknya dititipkan ke panti jompo. Sumpah serapah diarahkan kepada ketiganya. Netizen menuding ketiganya durhaka karena tak mau mengurus orang tua.


Saya tidak tahu kejadian sebenarnya karena info di medsos terlalu permukaan. Mungkin ada masalah internal keluarga yang belum diungkap, dan keluarga tidak bisa menjelaskan ke publik karena soal keluarga sensitif.


Waktu masih di lapangan sebagai wartawan, beberapa kali sempat meliput soal sosial ini; termasuk meliput so called panti jompo. Tidak semua orang miskin ternyata. Ada yang mampu secara materil.


Dari pengasuh panti saya dapat penjelasan bahwa lansia itu ada dua jenis: yang miskin materi, dan ada yang miskin sosial. Miskin materi ya tentu saja, dia miskin, anak-anaknya miskin tak mampu membiayai.


Soal istilah "miskin sosial" ini menarik perhatian saya. Banyak lansia kaya, tapi kesepian. Perasaan tersiksa mulai merasuk saat anak dan menantu pergi kerja, dan cucu sekolah. Tinggalah lansia itu di rumah serba ada itu. 


Sepi, sunyi, tak ada teman ngobrol. Apalagi kalau lansia itu sudah duda atau janda, tinggal di perumahan kelas menengah muda di kompleks. Mau ngobrol dengan tetangga, dia masih muda. Tema obrolan mungkin tidak akan nyambung. Makin tersiksa: kaya materi, tapi kesepian. Itu namanya miskin sosial, kata petugas pembimbing.


Di beberapa Panti Jompo, ada para lansia yang datang pagi hari diantar anak atau menantu sekalian mereka pergi ke kantor. Para keluarga muda ini membayar sejumlah biaya, Di panti itu para lansia bertemu sesama. Mereka bercanda bersama, menanam tanaman bersama. Selesai jam sebelas, mereka siap-siap di masjid menyongsong shalat dhuhur. 


Selesai shalat, makan siang, mereka kembali ngobrol ngalor-ngidul. Mereka menceritakan pengalaman masing-masing masa lampau. Dan tidak jarang cerita-cerita mereka nyambung.  Ada kalanya tokoh yang diceritakan adalah teman masa kecil si lansia yang mendengarkan cerita itu.


"Ohh begitu!" "Oh saya kenal dia." Di mana dia sekarang ya?'


Setiap hari, dokter datang memeriksa. Panti juga menyediakan balai untuk tidur siang. Sore hari, anaknya pulang dari kantor menjemput sang orangtua. Malamnya, sang orangtua bercerita tentang pengalaman sepanjang siang di panti. Cerita menanam bunga, menanam sayur, tentang tumbuhnya pohon yang ditanam, tentang bernyanyi dan lain-lain.


Pada akhirnya banyak lansia yang enggan pulang, karena merasa betah. Pihak panti akhirnya membuat semacam kamar kost. Anak dan cucu menjenguk kapan saja, terutama pada akhir pekan. Atau sesekali menjemput untuk ikut makan di luar. 


Ingat, di panti itu ada dokter, ada ambulans, ada mobil jenazah, dan tentunya pelayanan penanganan kematian. Nah, memang untuk semua layanan ini, ada semacam kontrak perjanjian dengan panti.


Kehidupan kota semakin mahal, keluarga muda lebih sulit untuk memiliki rumah dan halaman luas. Tak ada pilihan bagi suami dan istri; mereka harus bekerja untuk membiayai hidup. Sering ada cerita, mereka terpaksa meninggalkan orang tuanya di rumah sendirian, dengan khawatir berbagai risiko menimpa: jatuh di kamar mandi, wafat mendadak, kedatangan tamu tak dikenal dan sebagainya. 


Konsentrasi pecah, pekerjaan terganggu, dan orangtua tak terlayani, sehingga menjadi lansia miskin sosial. Dalam keadaan seperti ini, Panti Jompo bisa menjadi solusi urban. Cuman, ya, namanya harus diganti. Istilah Panti Jompo itu kesannya rumah buangan. Layanannya harus dimodernisasi menjadi rumah yang memberi kebahagiaan sosial bagi lansia kota yang miskin sosial. Jadi namanya jangan Panti Jompo, tapi yang mencerminkan visi misi tadi.


Kalau Panti Jompo sudah berubah nama dan layanannya pun sudah bertransformasi, maka  mengirimkan orang tua ke rumah itu bukan lagi bentuk "membuang" mereka; melainkan membahagiakan mereka dengan memberi kesibukan berkomunikasi dengan teman-teman seusianya, saling menguatkan untuk menjemput panggilan pulang ke rahmatullah


Mereka bisa dititipkan setiap hari dan pulang ke rumah anak, atau bisa menginap mingguan, atau bulanan. Wallahualam.