Roni Tabroni: Banyak Konten Media yang Mengeksploitasi Anak dan Perempuan

Notification

×

Iklan

Iklan

Roni Tabroni: Banyak Konten Media yang Mengeksploitasi Anak dan Perempuan

Sabtu, 04 Desember 2021 | 14:55 WIB Last Updated 2021-12-04T07:55:35Z

NUBANDUNG
– Koordinator Bidang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat Roni Tabroni mengatakan, masih banyak lembaga penyiaran, baik radio maupun televisi, yang tidak menaati regulasi dengan menayangkan konten-konten yang tidak ramah anak dan perempuan. 

”Menurut catatan kami, dari Januari hingga November 2021 saja, ada setidaknya 54 konten siaran yang masuk dalam kategori tersebut. Ini hanya cakupan Jawa Barat, kalau skala nasional, jumlahnya tentu akan lebih banyak lagi,” ujar Roni Tabroni dalam seminar hibrid Literasi Media ”Lembaga Penyiaran Ramah Anak dan Perempuan” yang diselenggarakan KPID Jabar bersama UMBandung, di auditorium utama UMBandung, Jumat 03 Desember 2021.

Roni mengambil contoh kasus konten yang sedang hangat saat ini, yakni mengenai seorang anak sepasang selebritas yang jadi objek pemberitaan yang luar biasa masifnya. Mulai dari hak asuhnya sampai pertikaian dua keluarga yang seharusnya tidak ditayangkan. 

”Anak tersebut dieksploitasi oleh media untuk menjadi konten mereka. Si anak tidak mendapat apa-apa dari pemberitaan itu, tetapi justru media yang dapat, ini begitu luar biasa,” ungkap Roni.

Selain itu, ditegaskan Roni, harus diakui bahwa media juga kerap kali menayangkan konten yang isinya hanya mengumbar aib rumah tangga seseorang. Bahkan dengan bahasa yang vulgar. ”Itu sangat mengerikan dan berbahaya bagi anak,” tutur Roni.

Ada juga sinetron-sinetron yang menayangkan sejumlah adegan yang kurang pantas ditonton. Misalnya perselingkuhan, pertengkaran, hingga adegan-adegan dewasa. 

”Sejumlah pelanggaran itu sudah kami beri teguran. Kita sangat berharap semua tayangan di televisi itu termasuk juga siaran di radio punya keberpihakan terhadap anak dan perempuan. Tidak mengeksploitasi mereka untuk menghasilkan sesuatu, sedangkan si anak, misalnya, hanya jadi korban,” kata Roni.

Belum jadi isu penting


Hal senada disampaikan Resti Ernawati, dosen Ilmu Komunikasi UMBandung, yang menjadi pembicara kedua. Resti menyoroti bahwa perempuan masih digambarkan oleh media selalu memerankan hal-hal domestik, misalnya soal keuangan keluarga, pengasuhan anak, rumah tangga, dan lain-lain.

”Selain itu, digambarkan juga di media bahwa perempuan itu selalu perannya menyedihkan, penuh penderitaan, ditindas, butuh pertolongan, dan lemah. Tampaknya isu mengenai perempuan belum dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan penting untuk media. Kalaupun perempuan menjadi narasumber di media atas suatu isu, katakanlah seperti itu, porsinya hanya 11 persen,” ungkap Resti.

Resti mengatakan, seharusnya ketika perempuan diberi peran di media, mereka bisa diberi peran yang lebih kuat, yang lebih punya karakter, sehingga mereka bisa mengembangkan potensi yang dimiliki.

”Ini ranah-ranah domestik ikut terbawa ketika perempuan diundang oleh stasiun televisi atau ke program acara, ketika mereka diwawancara, isu yang dibahas atau mereka dimintai pendapat, hanya sejumlah informasi yang ringan-ringan saja. Misalnya seperti tadi saya singgung, soal urusan domestik. Padahal sebetulnya, potensi perempuan untuk menjadi narasumber ahli itu sudah sangat banyak,” ucap Resti.

Jika itu dilakukan oleh media, menurut Resti, itu bisa memperkaya media televisi itu sendiri, lebih ramah ramah terhadap perempuan, dengan memberikan ruang yang lebih banyak kepada perempuan untuk membahas sejumlah isu yang biasanya didominasi oleh laki-laki.

Terkait pemberitaan di media, Resti mengungkapkan bahwa perempuan selalu ditempatkan sebagai korban. Misalnya korban pelecehan seksual atau korban perundungan.

”Ketika ini diangkat ke media, maka otomatis kehidupan pribadi mereka akan terenggut, sehingga tidak aman lagi bagi mereka ketika akan terjun bersosialisasi di masyarakat. Kemudian jika ada isu yang menjadi perhatian dan diangkat ke media terkait kekerasan seksual, misalnya, ini tidak pernah sampai tuntas diselesaikan oleh jurnalis itu sendiri, tidak ada pengawalan (berita) sampai akhir,” tandas Resti.

Sementara itu mantan Ketua KPID Jabar Dedeh Fardiah menyoroti mengenai belum berubahnya media karena masih banyak kasus anak dan perempuan yang dieksploitasi oleh mereka.

Peran aktif masyarakat


Kaprodi Magister Ilmu Komunikasi UNISBA ini mengatakan bahwa jika kita menjadi orang media, memproduksi kontennya, maka kita harus ikut bertanggung jawab kalau konten itu berdampak negatif.

”Itulah kenapa kita semua harus menguasai literasi media agar bisa membantu lembaga pemantau KPID. Bayangkan komisioner KPID ini kan hanya tujuh, dibantu tenaga pemantau tujuh, kemudian asistennya tujuh, dibandingkan dengan lembaga penyiaran yang berjumlah 437, pasti mereka akan kewalahan mengawasi media yang sangat banyak itu,” kata Dedeh.

Dalam seminar yang dimoderatori oleh Kaporodi Ilkom UMBandung Euis Evi Puspitasari ini, Dedeh mengungkapkan pentingnya literasi media, yakni tujuannya untuk membantu lembaga pemantau mengawasi banyaknya konten yang diproduksi media, misalnya televisi dan radio.

”Kenapa harus media televisi? Seperti yang dikatakan Bu Resti tadi, ini yang menonton televisi masih banyak, angkanya masih 90 persen. Berdasarkan data penelitian, ternyata generasi Z juga masih mendengarkan radio meskipun menggunakan perangkat yang lain. Karena frekuensi itu milik publik, maka frekuensi tersebut harus diperuntukkan sebesar-besarnya untuk publik. Itulah kenapa KPID terus mengawasi,” ungkap Dedeh. 

Setiap hari, anak dikelilingi dan dilingkupi oleh berbagai media, termasuk internet serta juga gadjet. Namun, kata Dedeh, semua tontonan itu tidak ramah terhadap anak. Kasus anak dan perempuan masih dominan.

”Semua itu menjadi keprihatinan kita. Tontonan kita tidak ramah anak, tidak sesuai dengan usia, kadang-kadang juga dari sisi visualisasi, dari sisi kekerasan,” tutur Dedeh.

Oleh karena itu, Dedeh menegaskan bahwa semua pihak harus melindungi (anak), baik itu dalam penyediaan konten yang baik, pencegahan atas konten yang buruk, dan juga edukasi kepada anak.

Cara mencegah konten negatif untuk anak dan perempuan, kata Dedeh, bisa dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, media itu sendiri, dan juga pemerintah.

Seminar ini dihadiri mahasiswa UMBandung. Hadir pula Rektor UMBandung Herry Suhardiyanto yang menyampaikan sambutan, Anggota DPRD Jabar Rafael Situmorang yang membuka acara, Ketua KPID Jabar Aditya Slamet, dan Kabid IKP Diskominfo Jabar Faiz Rahman.