Konten Religi di Televisi Pasca ASO

Notification

×

Iklan

Iklan

Konten Religi di Televisi Pasca ASO

Jumat, 30 September 2022 | 10:18 WIB Last Updated 2022-09-30T03:18:35Z


Oleh: Roni Tabroni, Ahmad Rifa’i, Agung Tirta Wibawa
(Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung)


NUBANDUNG.ID - Sejarah baru dunia penyiaran tanah air terjadi Tahun 2022. Merujuk pada UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja khususnya cluster penyiaran yang tertera di Pasal 60A, dimana Lembaga Penyiaran khususnya televisi akan melakukan migrasi analog ke digital atau yang dikenal sebagai Analog Switch Off (ASO). 


Secara faktual, ASO sendiri merupakan keniscayaan bagi penyiaran televisi sebagai konsekwensi perkembangan teknologi yang begitu cepat. Secara teknis, ASO akan dilaksanakan bertahap sesuai dengan peraturan menteri Kominfo RI Nomor 11 tahun 2021. Secara rinci Permen mengatur tahapan pelaksanaan ASO pada tiga tahap. 


Tahap satu dilaksanakan paling lambat pada 30 April 2022, tahap dua 25 Agustus 2022, dan tahap tiga 2 Nopember 2022. Sebagai gambaran, dalam lampiran IV Permen tersebut dirinci bahwa tahap satu ASO ini seharusnya berlaku di 116 Kota dan Kabupaten. Walaupun demikian, Kominfo sendiri mengubah jadwal ASO ini termasuk lokasinya. 


Pelaksanaan ASO ini tentu saja akan melahirkan konsekuensi tersendiri, sebab bagaimanapun akan mengubah lanscape penyiaran nasional. Perlu kesiapan dari berbagai pihak terkait dengan beberapa hal baik pada aspek infrastruktur, industri LP dan masyarakatnya. Persoalan ini saling tali temali, mengingat dunia media khususnya televisi, sangat terkait dengan berbagai pihak. Itu artinya, ASO sesungguhnya perlu dipersiapkan lebih matang. 


Dengan adanya ASO, televisi di Indonesia akan menggunakan frekwensi yang lebih kecil, artinya terjadi penghematan frekwensi yang selama ini digunakan oleh televisi. Ketika masih menggunakan modulasi analog, 1 Siaran TV menghabiskan 8 Mhz Frekuensi, artinya kalau 12 siaran akan menggunakan 96 Mhz Frekuensi. 


Tetapi ketika sudah bermigrasi ke digital, maka 12 Siaran TV hanya cukup menggunakan 8 Mhz Frekuensi. Ada realokasi/refarming frekuensi sebesar 88 Mhz. Dengan demikian, maka digital deviden sebesar 112 Mhz pada frekuensi 700. Realokasi kemudian dapat dimanfaatkan oleh negara untuk kepentingan lain yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat. 


Selain itu, ASO juga akan memiliki dampak kemanfaatan lain. Berdasar pada hasil kajian boston consulting group, akan ada 181 Ribu Penambahan Kegiatan Usaha Baru dan 232 Ribu Penambahan Lapangan Pekerjaan Baru. Sedangkan sektor pendapatan negara akan ada US$5,5 Miliar (Rp.77 T) Peningkatan Pendapatan Negara dalam bentuk Pajak dan PNBP dan US$31.7 Milliar (Rp443.8 T) Peningkatan Kontribusi pada PDB Nasiona. 


Dengan banyaknya keuntungan dan dampak positif dengan terjadinya migrasi analog ke digital, maka pilihan ASO menjadi strategis dan tidak bisa ditunda-tunda lagi. Oleh karenanya, secara regulasi, apa yang sudah menjadi ketetapan dalam Undang-undang Cipta Kerja, harus diikuti oleh regulasi pendukung lainnya, seperti revisi UU 32 No 2002 tentang penyiaran. 


Bahkan kemungkinan memerlukan regulasi turunan lain yang lebih spesifik baik pada aspek pengembangan platform dan dinamika kontennya. 

Konten Religi 


Ke depan, jumlah saluran televisi di Indonesia akan bertambah berlipat-lipat, pasca dicabutnya moratorium pendirian stasiun baru. Belum lagi ditambah dengan stasiun yang berafiliasi dengan pemegang multiflexing. Itu artinya, akan semakin banyak dengan siaran-siaran baru, yang dengan sendirinya diversity of conten dan divesity of ownership akan benar-benar terjadi di tanah air.  


Dari sekian banyak program siaran yang senantiasa menjadi tawaran dari lembaga penyiaran khususnya televisi yaitu aspek religi. Sebagai lembaga penyiaran yang ada di provinsi dengan mayoritas penganut agama Islam, maka konten keislaman menjadi sangat penting. 


Baik televisi yang memiliki format siaran religi, maupun televisi umum yang menayangkan program religi, kehadirannya sangat istimewa, sebab dapat memberikan layanan program sesuai kebutuhan audiensnya.


Pasca ASO, ketika televisi di Jawa Barat sudah bermigrasi dan berada di mode digital, maka kualitas gambar dan suaranya akan lebih baik lagi. Siaran-siaran religi diharapkan dapat disajikan dengan kualitas teknik dan teknologi yang lebih baik. 


Hanya saja, persoalannya bagaimana kemudian siara religi khususnya Islam di televisi digital Jawa Barat ini semakin meningkat, baik pada aspek kuantitas maupun kualitas konten. 


Sebagai Provinsi dengan tingkat religiusitas sangat tinggi, terutama ummat Islam mayoritas, kita akan melihat relasi antara lembaga penyiaran dengan konten siaran yang sarat dengan pesan-pesan keagamaan. 


Dimana ada televisi maka di sana ada muatan dakwah, khususnya dakwah Islam, dimana agama ini yang memiliki tingkat penganut sangat dominan di Jawa Barat. Pesan dakwah dapat dikemas dalam berbagai bentuk kegiatan, mulai yang paling tradisional berupa ceramah, bisa berupa ceritera, bisa drama, reality show, hingga kemasan lain yang mungkin dianggap menarik. 


Balutan seni dan budaya pun tidak dapat dihindari dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah, sebab sebagai sebuah metode, kegiatan seni dan budaya sudah mendarah daging pada masyarakat Indonesia khususnya Jawa Barat. 


Pilihan dua televisi lokal seperti SMTV dan MQTV ini mewakili dua karaktistik masyarakat yang cukup berbeda yaitu masyarakat Sumedang yang juga menjangkau Majalengka dan sekitarnya yang sarat dengan kebudayaan Sunda dengan karakteristik pedesaan. 


Sedangkan MQTV merupakan televisi yang mewakili masyarakat perkotaan metropolis seperti Bandung Raya yang sangat kental dengan akulturasi budaya. Semua kemoderanan ada di sini, termasuk pengaruh budaya luar sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya. 


Namun, di antara keduanya kakrakteristik masyarakat seperti itu, ada benang merah yang tidak luput dari identitas masyarakat khususnya di Jawa Barat yaitu nuansa religius. 


Kebutuhan akan konten keagamaan, apakah dominan ataupun hanya sisipan, menjadi kemestian bagi media-media yang ada di tanah air, khususnya di Jawa Barat. 


Konten religi ini sudah barang tentu menjadi ruh dan dominan bagi lembaga penyiaran seperti televisi dengan format siaran religi itu sendiri, sedangkan lembaga penyiaran lain yang memilih format siaran lain, tentu saja bisa jadi hanya menjadi sisipan atau program tambahan saja.  


Karenanya, secara format siaran, kita akan melihat perbedaan pada SMTV dan MQTV. SMTV yang merupakan televisi lokal yang berada dan siaran dari Kabupaten Sumedang dengan format siaran umum, sedangkan MQTV merupakan televisi lokal yang berada dan siaran dari Kota Bandung dengan format siaran religi. 


Perbedaan format siaran ini dianggap menarik sebab penelitian ini akan mencari perubahan program siaran di kedua televisi tersebut, sebelum dan setelah ASO, apapun format siarannya. 


Berdasarkan hasil kajian, kedua televisi lokal yang sudah bermigrasi ke digital ini memiliki program religi baru berupa ceramah keagamaan yang diisi oleh para Ustad dan Ustadzah yang di daerah tersebut. 


SMTV bekerja sama dengan Ormas Islam untuk memastikan materi dan pengisisnya. Sementara MQTV membuat program dialog dan kemasan lainnya yang bernuansa edukasi berbasis al-Quran. 


Dengan adanya penambahan konten keagamaan, kedua televisi tersebut mengaku mendapatkan audiens atau pemirsa baru. Mereka terdiri dari masyarakat yang membutuhkan siraman rohani dari televisi lokal. Sebelumnya, menonton siraman rohani hanya dari televisi nasional (SSJ), namun sekarang dapat mengaksesnya dari televisi lokal karena kualitas gambar dan suaranya sudah sama bagusnya. 


Dengan demikian, dapat dipastikan dimana ASO yang berakhir di tahuan 2022 ini akan memberikan dampak positif pada penyebaran konten religi di Jawa Barat. Dua televisi lokal seperti SMTV dan MQTV sudah membuktikan bahwa ketika sudah bermigrasi ke digital dan menambah program religi, make pemirsanya pun bertambah dan mendapat apresiasi positif.