Era Digital, Peluang bagi Jurnalisme Lokal di Indonesia

Notification

×

Iklan

Iklan

Era Digital, Peluang bagi Jurnalisme Lokal di Indonesia

Minggu, 12 Februari 2023 | 18:22 WIB Last Updated 2023-02-12T11:22:14Z


Oleh: Budhiana Kartawijaya


NUBANDUNG.ID - Memasuki tahun baru 2023, pers Indonesia diwarnai dengan tutupnya Koran Republika. Koran ini berhenti terbit setelah beredar selama 30 tahun. Kelompok Gramedia juga menutup Tabloid Nova, Majalah Bobo, Mobi SD, dan Majalah Mombi. 


Lima tahun terakhir, sudah ada 29 media cetak yang gugur. Jadi total sudah 34 media cetak tutup. Yang menarik, dari 34 media ini 28 di antaranya majalah dan tabloid. Koran hanya enam: Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Koran Tempo, Jakarta Globe, Harian Jurnas, dan Republika. 


Yang lebih menarik lagi, semua media ini berbasis di Jakarta, dan memposisikan diri sebagai media nasional. Sementara koran daerah tidak ada yang tutup. Kalaupun ada, sumber masalahnya adalah konflik manajemen. Bahkan di beberapa daerah koran-koran baru tumbuh.


Mengapa media cetak nasional mati?


Karena positioning mereka sebagai media nasional, maka distribusinya pun harus nasional, punya kantor dan koresponden di seluruh Indonesia. Tentu saja biaya produksinya besar, termasuk di dalamnya biaya-biaya tetap karena asetnya di mana-mana. Pada akhirnya, ketika internet tiba, pendapatan iklan anjlok besar dan tidak bisa menutup biaya operasional.


Sementara koran-koran daerah masih berkibar, dan tetap survive. Sebagai koran daerah, mereka tidak memerlukan distribusi ke seluruh tanah air. Cukup di kota di mana dia terbit kota di sekitarnya. 


Mereka tidak perlu punya koresponden di luar kota. Bahkan kelompok-kelompok koran Radar, dan Tribun bisa tukar menukar konten dari berbagai kota. Di samping itu, koran lokal bisa menerima iklan lokal, dan hidup dari belanja iklan pemerintah seperti iklan sosialisasi program atau lelang.


Kedekatan media lokal dengan audiens-nya adalah sebuah keunggulan dibanding media nasional. Dengan kekuatan brand-nya di lokal, mereka bisa menjadi penyelenggara event: gathering, festival, seminar dan lain-lain. Tentu ada sponsornya, bukan cuma lokal tapi juga perusahaan besar yang ingin produknya dikenal di masyarakat setempat.


Apakah internet akan membunuh koran, baik nasional atau daerah? Mungkin saja, tapi entah kapan. Yang jelas, sampai sekarang kebanyakan media cetak masih hidup, meski tidak seberjaya dulu.


Internet bisa dilihat sebagai ancaman bila teknologi ini digunakan hanya untuk memindahkan kontan cetak ke digital (digitasi). Di sini media cetak harus sadar, bahwa iklan tak sebesar dan semahal dulu. Akan menjadi potensi bila media melakukan transformasi digital, yang artinya mereformasi bisnisnya tidak hanya sekadar mengandalkan iklan dan sirkulasi. Media cetak bersama media daring dan media sosialnya bisa saling memperkuat.


Banyak media lokal mulai melakukan bisnis di luar bisnis konvensional dengan mensinergikan kerekatan dengan masyarakat lokal dan brand. Mereka memanfaatkan benderanya untuk membuat bisnis lain, seperti event: festival, seminar, dan lain-lain. Jejaring koneksi mereka kerahkan untuk menunjang bisnis barunya ini.


Koran Pikiran Rakyat, misalnya, pernah mengadakan event “Balad Daihatsu” yang mengumpulkan mobil-mobil Daihatsu generasi pertama (bemo) sampai produk mutakhirnya. Event ini memecahkan rekor dunia event Daihatsu. Ini contoh kekuatan brand media lokal.


Pakar manajemen Michael Brito menyebut bahwa ke depan, brand Anda adalah media Anda. Dengan brand ini, ditambah dengan kekuatan digital maka media akan selamat dari gempuran digitalisasi, malah bersinergi menghasilan sumber-sumber pendapatan baru yang berbeda sama sekali dari jualan iklan dan sirkulasi.


Peluang media lokal di era digital semakin terbuka. September 2022, Google mengubah algoritma untuk pemeringkatan di mesin pencari. Dia tidak akan lagi menoleransi konten-koten umpan klik (clickbait), konten pelintiran (spun content). Jadi kata Google, kita harus kembali membuat konten untuk manusia. 


Para pembuat konten harus membuat konten yang bermanfaat (helpful content). Informasi yang ditulis harus orisinal dan EAT (expertise, authoritative, and trusted) atau berdasarkan kepakaran, otoritas dan tepercaya. Selain itu juga konten-konten lokal dan unik akan mendapatkan ranking tinggi.


Bagi pers lokal, perubahaan algoritma ini sebetulnya mengembalikan lagi nilai-nilai dasar jurnalisme: akurasi, sumber tepercaya, kedekatan (proximity), objektif, dan bermanfaat.


Bagi media daerah, tentu saja ini adalah sebuah peluang baik. Media daerah punya kedekatan lokal, bahkan hiperlokal, yang tidak mungkin dijangkau oleh media nasional. 


Media daerah memiliki kerekatan dengan komunitas setempat. Konten lokal yang unik, dan menarik, akan menarik banyak pembaca, tidak hanya dari daerah itu, tapi juga dari seluruh dunia.


Selamat Hari Pers Nasional, kembalikan nilai-nilai jurnalisme di era digital ini demi tegaknya kemanusiaan.***