Pojok Opini: Memupuk Integritas Diri

Notification

×

Iklan

Iklan

Pojok Opini: Memupuk Integritas Diri

Jumat, 18 Agustus 2023 | 16:01 WIB Last Updated 2023-08-18T09:01:38Z


Oleh: Rifqi M Khairuman,
Hakim Pengadilan Agama


NUBANDUNG.ID -- Ketua Mahkamah Agung RI, Yang Mulia Prof. Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H., berpendapat bahwa, “Regulasi yang dijalankan oleh Hakim dalam penyelesaian perkara diperlukan. Namun, integritas jauh lebih penting untuk dimiliki oleh para hakim. Hakim yang berintegritas, memutus perkara dengan hatinya dan akan menimbulkan kepastian hukum, keadilan, dan manfaat.”


Apa yang dikatakan Ketua Mahkamah Agung RI tersebut, mengindikasikan bahwa integritas dalam diri seorang hakim, merupakan salah satu kode etik dan perilaku hakim yang menjadi kunci untuk membuka pintu keadilan bagi masyarakat sebagaimana yang dijanjikan dalam UUD 1945. 


Tak hanya itu, integritas seorang hakim juga merupakan self belief yang melahirkan tata nilai (values) kemudian mengejawantahkan pikiran dan tindakan bernilai dalam menjalani profesi kehakiman. 


Rhenald Kasali dalam buku bertajuk Cracking Values: Bersih, Bersinar, dan Kompetitif (Gramedia, 2012: 48) mengatakan bahwa para ahli perilaku menyimpulkan apa yang diperbuat manusia pada dasarnya mencerminkan apa yang dipikirkannya. Sementara apa yang dipikirkan seseorang pada dasarnya refleksi dari nilai-nilai yang dianutnya. 


Ia juga mengatakan bahwa values pada dasarnya ialah kepercayaan teguh yang menjadi pegangan dan pedoman sehari-hari. Dalam bahasa lain, values juga bisa terbentuk dari self belief yang diberikan oleh agama yang dianut umat manusia.


Karena itu, bagi saya mengemban amanah sebagai seorang hakim bukanlah hal yang mudah, banyak ujian dan godaan datang silih berganti, yang tidak jarang ujian dan godaan tersebut menghancurkan integritas diri yang susah payah dibangun dari awal karier kehakiman. 


Semua itu terjadi karena pada setiap orang terdapat potensi baik dan buruk yang dikendalikan oleh values yang berasal dari ajaran Agama secara tertulis dan tidak tertulis. 


Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan. 


Secara etimologis, integritas berasal dari bahasa latin “integrate” yang artinya komplit, menyeluruh, tanpa cacat atau sempurna. Maksudnya adalah apa yang ada di hati sama dengan apa yang kita pikirkan, ucapkan, dan lakukan.


Nah, dalam menciptakan pribadi hakim berintegritas, kita harus dapat merawat benih-benih integritas dalam diri dengan memupuknya agar tumbuh sikap dan perilaku berintegritas tinggi dalam menjalani kehidupan dan melaksanakan tugas sehari-hari. Integritas tidak terbentuk begitu saja dan bukan hal yang instan. 


Integritas yang dipegang teguh seorang hakim, tentunya akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik. 


Berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, ada 10 tata nilai yang harus ditanamkan oleh hakim berintegritas, yakni: 1. Berprilaku Adil, 2. Berprilaku Jujur, 3. Berprilaku Arif dan Bijaksana, 4. Berprilaku Mandiri, 5. Berintegritas Tinggi, 6. Bertanggung jawab, 7. Menjunjung Tinggi Harga Diri, 8. Berdisiplin Tinggi, 9. Berprilaku Rendah Hati, dan 10. Bersikap Profesional.


Di sini saya, setidak-tidaknya mengetengahkan 4 (empat) hal yang harus diperhatikan untuk memupuk nilai integritas dalam diri berdasarkan nilai religiusitas, yaitu:


Pertama, konsisten dalam keimanan. 


Iman merupakan suatu keyakinan yang dibenarkan oleh hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dalam perbuatan. Setiap Hakim telah melalui seleksi panjang dalam memperoleh kedudukannya, baik seleksi pengetahuan, keilmuan, maupun kepribadian. 


Setiap hakim merupakan orang yang beragama. Setiap yang mempunyai agama pasti terdapat iman di dalam dirinya, dan setiap orang beriman pasti akan selalu berusaha untuk senantiasa berbuat baik dalam kehidupan sehari-harinya, karena sejatinya Integritas merupakan buah dari keimanan seseorang yang tercermin dalam perkataan dan perbuatannya sehari-hari. 


Namun demikian, iman itu juga bisa bertambah dan berkurang. Agar dapat konsisten dalam keimanan, maka harus senantiasa belajar segala hal yang dapat mempengaruhi keimanan, baik yang dapat menambah iman maupun yang dapat mengurangi iman. 


Keimanan yang terus meningkat akan melahirkan sikap dan kepribadian yang utuh serta meningkatkan ketahanan pada godaan yang datang, yang dapat menggerus nilai-nilai integritas diri.


Kedua, konsisten dalam menjalankan syariat agama. 


Setiap agama mempunyai syariat (jalan keberagamaan) bagi para pengikutnya. menjaga konsistensi dalam menjalankan syariat agama merupakan keniscayaan. 


Hal ini dapat menumbuhkan keterikatan terhadap agama yang selalu mengajarkan kebaikan serta menjauhkan diri dari keburukan dan perilaku yang merusak, sehingga akan terbentuk benteng kokoh penguat integritas yang tercermin dalam pribadi yang berwibawa. 


Ketiga, konsisten dalam bekerja dan berkarya dengan tulus ikhlas. 


Pekerjaan sehari-hari sebagai hakim memiliki tata aturan yang harus selalu diperhatikan. Namun demikian, dalam melaksanakan pekerjaannya, tidak menutup kemungkinan untuk melakukan inovasi dan membuahkan karya-karya yang menunjang pekerjaannya atau karirnya. 


Konsistensi dalam bekerja dan berkarya membuat hakim memiliki pikiran yang fokus dalam menyelesaikan pekerjaannya dan membuat karya yang bermanfaat. Apalagi mahkota hakim adalah putusan, maka dengan konsisten dalam bekerja dan berkarya dengan tulus ikhlas, hakim akan dapat melahirkan putusan yang memiliki kepastian, keadilan, dan memberikan manfaat serta jauh dari sifat curang dalam memutus perkara. 


Keempat, konsisten dalam waktu lapang maupun susah. 


Waktu dengan hitungan yang sama setiap harinya dimiliki semua orang, namun tidak semua orang dapat memanfaatkan waktu dengan baik. Tidak ada waktu yang lebih bermanfaat kecuali waktu tersebut digunakan untuk kebaikan. 


Kebaikan merupakan bagian dari integritas, karena kebaikan akan mencerminkan akhlak mulia yang merupakan ajaran luhur Agama. Konsisten dalam waktu lapang maupun susah akan menumbuhkan sikap jujur yang merupakan akhlak terpuji dalam tingkatan tertinggi sebagaimana dicontohkan para nabi.


Seseorang dapat dikatakan sebagai orang yang berintegritas jika tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan dan prinsip yang dipegang teguh. Sederhananya, sebagai kesatuan pikiran, kata dan tindakan. 


Ada konsistensi antara apa yang diketahui dan diucapkan dengan apa yang dilakukan. Ingat, salah satu kunci integritas diri adalah sikap konsisten, atau yang dalam bahasa agama disebut dengan istiqamah. Wallahua’lam***(SAB)