NUBANDUNG.ID – Program Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung bekerja sama dengan Esoterika Fellowship Program menggelar Kuliah Umum bertajuk “Agama sebagai Warisan Kultural Milik Bersama: Agama dan Makna Hidup di Era Algoritma” yang berlangsung di Aula Selatan, Lantai 4, Gedung Pascasarjana UIN Bandung.
Dengan menghadirkan dua narasumber utama, Ahmad Gaus AF, dosen Bahasa dan Budaya di Swiss-German University (SGU) dan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII); Dr. Ilim Abdul Halim, M.A., Ketua Program Studi S1 Studi Agama-Agama. Diskusi dipandu oleh Dr. Neng Hannah, M.Ag. selaku moderator.
Kuliah umum dibuka secara resmi oleh Wakil Direktur III Program Pascasarjana Prof. Dr. H. Dindin Solahudin, M.A. Dalam sambutannya, Prof. Dindin menekankan bahwa agama tidak semata sebagai keyakinan personal, tetapi juga merupakan warisan kultural yang membentuk cara pandang manusia dalam mencari makna hidup, terutama di tengah era algoritma yang semakin mendominasi.
“Sangat penting memperluas kerja sama antara institusi pendidikan dan lembaga eksternal, khususnya di jenjang S2 dan S3. Agama perlu dipahami sebagai bagian dari identitas kolektif yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman,” tegas Dindin dalam keterangannya, Kamis (5/6/2025).
Ketua Program Studi S2 Studi Agama-Agama, Prof. Taufiq Rahman, Ph.D.sangat mengapresiasi kehadiran program Esoterika sebagai ruang pembelajaran lintas nilai.
“Studi agama berperan penting dalam membangun kesadaran lintas nilai di tengah lanskap digital yang terus berubah. Agama perlu merespons dinamika digitalisasi tanpa kehilangan esensinya sebagai sumber nilai dan identitas,” jelasnya.
Direktur Denny JA Foundation, Nita Lusaid, turut hadir dan menyoroti pentingnya memandang agama sebagai warisan budaya bersama, bukan sekadar doktrin personal.
“Tema ini sangat relevan, khususnya dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural. Agama membentuk nilai, simbol, hingga estetika budaya bangsa. Ia adalah warisan kultural yang menyatukan, bukan memisahkan,” ungkapnya.
Nita menjelaskan bahwa Denny JA Foundation selama ini aktif dalam kerja-kerja kebudayaan, pendidikan, dan penguatan toleransi. Pendekatan interdisipliner dalam studi agama diharapkan dapat mendorong pemahaman agama sebagai kekuatan pembentuk harmoni sosial dan spiritual lintas identitas.
Dalam sesi pemaparannya, Ahmad Gaus AF mengulas transformasi agama dalam era budaya algoritmik. Mengingat pentingnya membangun relasi keberagamaan yang dilandasi saling menghormati dan cinta kasih.
“Mari kita renungkan kembali relasi antara manusia, agama, dan makna hidup di tengah kompleksitas dunia digital,” ujarnya.
Dr. Ilim Abdul Halim mengangkat pentingnya mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas dalam era digital yang cenderung menyeragamkan pengalaman manusia melalui data dan otomatisasi.
Dengan memperkenalkan konsep P3 2S: Personal Relation, Positivity, Passion, Small Winning, serta Spiritualitas & Wellness sebagai pendekatan membangun kehidupan yang seimbang secara emosional, sosial, dan spiritual.
“Konsep ini merupakan respons terhadap tantangan era algoritma yang serba cepat dan kerap mengalienasi nilai-nilai kemanusiaan,” jelasnya.
Diskusi berlangsung dinamis dan reflektif, dengan partisipasi aktif dari civitas akademika UIN Bandung. Para peserta menyampaikan pandangan kritis dan terlibat dalam sesi tanya jawab yang menggugah.
Paling tidak ada enam mahasiswa dari berbagai jenjang di Program Studi SAA (Studi Agama-Agama) menyampaikan pertanyaan reflektif seputar keberagamaan di era digital:
1. Salsa Syabilah (S1) bertanya, "Apakah makna hidup harus dicari dan ditemukan sendiri, atau sebenarnya sudah tersedia dalam ajaran agama, tinggal kita ikuti dan praktikkan?"
2. Ai Siti Nurlaelasari (S1) menyoroti fenomena konten viral bertema agama di era algoritma. Melalui pertanyaan, "Banyak konten yang viral justru tidak substansial dan jauh dari kebenaran. Bagaimana agar ajaran agama tetap relevan dalam situasi ini?"
3. Ahmad Solihin A. (S1) mengajukan pertanyaan, "Apakah algoritma media sosial berpengaruh pada keimanan seseorang, khususnya Gen Z? Dapatkah itu memperkuat atau justru melemahkan iman? Apa dampaknya bagi generasi ini?"
4. Andi Malaka (S3) menyoroti tantangan Islam dalam menghadapi era algoritma, dengan pertanyaan, "Ketika otoritas keagamaan terasa semakin jauh dibandingkan dengan kemudahan akses ke media sosial dan internet, bagaimana Islam menjawab tantangan ini, terutama jika dikaitkan dengan isu kesehatan mental?"
5. Diran Murtado (S2) bertanya, "Bagaimana konsep Islam rahmatan lil ‘alamin dapat diwujudkan melalui keberagamaan yang dilandasi sikap saling menghormati dan cinta kasih, terutama di tengah maraknya pemahaman agama yang dijadikan dasar radikalisme dan terorisme?"
6. Uchep Hermawan (S2) mengajukan pertanyaan reflektif, "Bagaimana cinta eros dapat ditransformasikan menjadi cinta universal, terutama dalam konteks bangsa Indonesia yang kini tengah menghadapi tantangan sosial dan moral?"
Kuliah umum ini diharapkan menjadi ruang dialog produktif dalam memperdalam pemahaman agama sebagai bagian dari dinamika sosial-budaya kontemporer. “Mudah-mudahan dengan adanya kuliah umum ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran baru dalam merespons tantangan era digital dengan pendekatan keagamaan yang kontekstual, reflektif, dan inklusif,” pungkas Dr Neng Hannah.