NUBANDUNG.ID -- Wacana pemekaran Kabupaten Bandung Timur kembali menjadi sorotan. Setidaknya ada 15 kecamatan yang digadang-gadang akan masuk dalam daerah otonomi baru ini, antara lain Kertasari, Pacet, Ciparay, Majalaya, Ibun, Paseh, Cikancung, Nagreg, Cicalengka, Cileunyi, Cilengkrang, Cimenyan, Rancaekek, Bojongsoang, hingga Solokan Jeruk.
Di satu sisi, pemekaran ini dianggap sebagai jawaban atas berbagai persoalan klasik: pelayanan publik yang lamban, pembangunan yang timpang, serta luasnya wilayah Kabupaten Bandung yang membuat pemerataan terasa sulit. Namun di sisi lain, pemekaran bukanlah obat mujarab. Ia menyimpan potensi masalah baru yang harus diantisipasi sejak awal.
Mengapa Bandung Timur Layak Dimekarkan?
Pertama, dari sisi pelayanan publik, wilayah timur Kabupaten Bandung seringkali merasa dianaktirikan. Jarak ke pusat pemerintahan di Soreang cukup jauh, sementara kebutuhan masyarakat terus bertambah. Dengan adanya pemekaran, diharapkan birokrasi menjadi lebih dekat dan responsif.
Kedua, dari sisi pembangunan, kawasan Bandung Timur memiliki potensi ekonomi yang besar: mulai dari pertanian di Kertasari, industri tekstil di Majalaya, hingga pertumbuhan perumahan dan bisnis di Rancaekek serta Cileunyi. Potensi ini butuh manajemen pemerintahan yang fokus agar tidak terus tertinggal dari Bandung Barat atau Kota Bandung.
Ketiga, dari aspek demografi, jumlah penduduk di kawasan ini cukup padat. Rancaekek, misalnya, sudah menjadi salah satu kecamatan dengan pertumbuhan perumahan tercepat. Pemekaran diharapkan mampu mengurai persoalan kepadatan dengan perencanaan tata ruang yang lebih baik.
Tantangan yang Mengintai
Namun, pemekaran bukan tanpa risiko. Ada beberapa tantangan besar yang bisa muncul:
Beban Anggaran
Membentuk daerah otonomi baru berarti membangun infrastruktur pemerintahan dari nol: kantor bupati, DPRD, hingga perangkat birokrasi. Semua itu membutuhkan biaya besar yang berpotensi membebani APBD maupun APBN.
Potensi Konflik Kepentingan
Penentuan ibu kota Bandung Timur bisa menjadi isu sensitif. Rancaekek disebut-sebut kandidat kuat, tetapi daerah lain mungkin merasa lebih berhak. Jika tak dikelola bijak, hal ini bisa menimbulkan gesekan antarwilayah.
Efektivitas Pemerintahan
Pemekaran tidak otomatis menjamin pelayanan publik lebih baik. Jika birokrasi baru hanya menjadi duplikasi dari birokrasi lama, rakyat tetap akan menghadapi persoalan serupa: lamban, tidak transparan, dan jauh dari harapan.
Harapan Warga Bandung Timur
Meski demikian, mayoritas masyarakat di kawasan timur tampak menyambut positif wacana ini. Mereka melihat pemekaran sebagai peluang emas untuk keluar dari bayang-bayang “pusat kekuasaan” di Soreang. Bagi warga Majalaya, misalnya, pemekaran berarti kesempatan menghidupkan kembali kejayaan industri tekstil. Sementara bagi masyarakat Kertasari, pemekaran bisa membuka jalan bagi modernisasi sektor pertanian.
Pemekaran Boleh, Asal Jangan Setengah Hati
Pemekaran Bandung Timur bukan sekadar kebutuhan administratif, tetapi juga simbol keadilan pembangunan. Namun, saya khawatir bila prosesnya tidak matang, justru akan melahirkan masalah baru: korupsi anggaran, tumpang tindih tata ruang, hingga birokrasi gemuk yang tidak efisien.
Karena itu, jika pemerintah serius, maka ada tiga syarat mutlak:
Perencanaan tata kota dan tata ruang yang jelas. Jangan sampai Rancaekek dan sekitarnya semakin semrawut.
Transparansi anggaran. Masyarakat berhak tahu untuk apa dan ke mana setiap rupiah digunakan.
Partisipasi warga. Pemekaran harus berbasis aspirasi masyarakat, bukan hanya kepentingan elit politik.
Pemekaran Bandung Timur adalah sebuah harapan sekaligus ujian besar. Ia bisa menjadi motor percepatan pembangunan, tetapi juga bisa menjadi beban baru jika hanya dijalankan dengan setengah hati.
Pada akhirnya, pemekaran bukan soal garis batas administratif, melainkan soal bagaimana negara hadir lebih dekat dengan rakyatnya. Bandung Timur layak mendapatkan kesempatan itu, asalkan semua pihak benar-benar siap.***