Maksud Pidato Bung Karno, Kita “Bukan Bangsa Tempe”! Pemicu Perdebatan di Warung Burjo UIN Bandung

Notification

×

Iklan

Iklan

Maksud Pidato Bung Karno, Kita “Bukan Bangsa Tempe”! Pemicu Perdebatan di Warung Burjo UIN Bandung

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:45 WIB Last Updated 2025-12-20T07:45:05Z

 


Oleh SUKRON ABDILAH, Penulis dan Ideapreneur



NUBANDUNG.ID -- Ada satu pidato Bung Karno yang sampai kini masih bikin saya senyum kecut tiap kali lihat tahu goreng di warkop kampus. Tahun 1963, di depan para buruh tani dan rakyat kecil, Soekarno dengan lantang berkata: “Bangsa Indonesia bukan bangsa tempe!”


Kalimat itu meledak seperti petir di siang bolong. Tapi lucunya, kalau diucapkan di tahun 2025, mungkin orang malah mikir: “Emang kenapa, Pak? Tempe kan sumber protein nabati yang sehat dan lokal!”


Namun di balik kalimat yang sering disalahpahami itu, tersimpan filsafat tentang mental bangsa—tentang harga diri, kemandirian, dan keberanian berpikir besar. Dan bagi saya, alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung yang dulu sering debat di kantin sambil ngopi sachet, pidato itu lebih dari sekadar orasi politik: ia adalah pelajaran komunikasi eksistensial ala Jürgen Habermas, versi Nusantara.


Panasnya Panggung Pidato


Bayangkan suasana Indonesia saat itu: ekonomi sedang goyah, tekanan politik dari luar negeri makin kencang, dan sebagian rakyat mulai pesimis dengan masa depan. Di tengah situasi itu, Soekarno naik ke podium dan berteriak lantang, suaranya menggema: “Kalau bangsa ini mau jadi bangsa besar, jangan punya mental tempe! Mental kecut, mental penakut, mental menyerah!”


Pidato itu bukan sekadar ajakan untuk berhenti makan tempe, tapi sindiran keras terhadap mentalitas bangsa yang minder (Bhs Sunda: dusunan) terhadap bangsa lain. Ia bicara soal martabat dan keberanian berpikir mandiri, bahwa bangsa besar tak bisa tumbuh dari jiwa yang gampang nyerah.


Dan di sinilah menariknya—kalimat itu menembus waktu. Enam dekade kemudian, di ruang diskusi mahasiswa UIN Bandung, kami masih membicarakan hal yang sama: mentalitas bangsa dan komunikasi keberanian. Bedanya, dulu Soekarno berdiri di podium, sekarang kami berdiri di depan dosen sambil gemetar karena presentasi belum siap.


Saya masih ingat suatu sore di tahun 2006. Di warung depan kampus UIN Bandung, teman saya—seorang aktivis UKM yang suka debat—tiba-tiba nyeletuk,


“Bro, gue tuh kadang bingung, kenapa bangsa kita masih suka minder? Bung Karno udah bilang bukan bangsa tempe, tapi mentalnya masih kayak adonan kedelai, gampang diaduk!”


Kami pun tertawa, tapi lalu jadi serius. Karena kalimat itu menohok. Kami bicara soal bagaimana mahasiswa sering takut bicara di forum, takut berbeda pendapat dengan dosen, bahkan takut gagal.


Di situ saya sadar, “mental tempe” bukan soal makanan, tapi soal mindset. Bung Karno seolah menantang kita untuk berani berpikir dan berdialog tanpa rasa takut. Dan inilah titik di mana teori Habermas nyambung: bahwa komunikasi sejati terjadi ketika semua orang berani bicara jujur untuk mencari kebenaran bersama, bukan sekadar mengulang apa yang ingin didengar.


Habermas vs. Soekarno: Dialog Dua Dunia


Jürgen Habermas, filsuf Jerman yang hobi membahas rasionalitas dan demokrasi, punya konsep keren: “tindakan komunikatif” (communicative action). Intinya, manusia harus berkomunikasi bukan untuk menang, tapi untuk memahami satu sama lain. Dalam ruang publik yang sehat, semua orang punya suara yang setara.


Nah, kalau dipikir-pikir, Bung Karno sudah mempraktikkan itu jauh sebelum Habermas menulis bukunya. Ia tidak hanya berpidato untuk didengar, tapi untuk menggerakkan kesadaran kolektif. Pidato “Bukan Bangsa Tempe” bukan sekadar orasi politis; itu adalah ajakan berdialog dengan diri sendiri: Apakah kita bangsa yang percaya diri, atau hanya penonton dalam sejarah kita sendiri?


Habermas bilang, komunikasi sejati menciptakan ruang publik yang emansipatoris. Bung Karno, dengan gaya lantangnya, menciptakan ruang publik di tengah rakyat yang sederhana, mengajak mereka berpikir setara—bukan sebagai massa yang dibujuk, tapi manusia yang diajak berpikir.


Sebagai mahasiswa, kami sering merasa jadi penerus “perang wacana” itu—tapi versi lucunya. Pernah suatu kali, saya presentasi teori Habermas di kelas. Dengan penuh percaya diri, saya membuka slide pertama yang bertuliskan “Habermas dan Komunikasi Emansipatoris”. Tapi laptop saya hang.


Dosen menatap saya. Kelas hening. Saya gugup. Dalam hati saya berkata: “Tenang, Bung Karno aja dulu berpidato tanpa Power Point.”


Lalu saya nekat ngomong tanpa slide, pakai bahasa campur aduk, campuran teori dan humor. Ajaibnya, kelas malah hidup. Kami berdiskusi panjang tentang komunikasi kritis dan mental bangsa. Di situ saya merasa: mungkin inilah makna “bukan bangsa tempe” versi mahasiswa—berani bicara, walau tanpa alat bantu, tapi dengan keyakinan dan nalar yang jujur.


Tempe di Era Digital


Sekarang, di tahun 2025, pidato Bung Karno terasa lebih relevan dari sebelumnya. Kita hidup di era digital di mana semua orang bisa bicara, tapi belum tentu mau mendengar. Media sosial jadi ruang publik raksasa—tapi sering kali, alih-alih berdialog, kita justru saling menekan tombol “mute” atau “block”.


Habermas pasti geleng-geleng kepala melihat ruang publik digital ini: bukan arena diskusi rasional, tapi arena debat kusir, hoaks, dan ego pribadi. Di sinilah semangat Bung Karno penting dihidupkan kembali: bangsa besar adalah bangsa yang berani berpikir, berani berbeda, dan berani mendengarkan.


Karena kadang, “mental tempe” modern bukan takut berperang, tapi takut salah di kolom komentar.


Saya sering membayangkan: bagaimana jika Bung Karno dan Habermas duduk bareng di warung burjo (akronim: bubur, ketan, kacang ijo) di depan UIN Bandung?


Mungkin Bung Karno akan bilang, “Habermas, kau ini pintar sekali bicara soal rasionalitas. Tapi percuma kalau rakyatmu masih takut berpikir sendiri!”


Dan Habermas mungkin menjawab, “Benar, Bung Karno. Tanpa keberanian berbicara jujur, demokrasi hanya jadi pertunjukan formalitas.”


Lalu mereka berdua akan tertawa, sambil menyantap tahu goreng dan sepakat: bahwa bangsa besar bukan diukur dari bahan makanannya, tapi dari cara berpikir dan berkomunikasinya.


Sebagai mahasiswa yang pernah terpesona oleh pidato Soekarno dan teori Habermas, saya belajar satu hal penting: mental tempe bukan soal lemah atau kuat, tapi soal keberanian untuk berdialog dengan diri sendiri dan orang lain.


Bung Karno mengajarkan keberanian, Habermas mengajarkan kesetaraan dalam bicara. Dua-duanya mengingatkan kita bahwa bangsa besar tak bisa tumbuh dari keheningan yang penakut, tapi dari percakapan yang jujur dan kritis.


Jadi, kalau hari ini kita bicara soal Indonesia yang lebih maju, mungkin langkah awalnya bukan seminar besar atau kebijakan canggih—melainkan obrolan sederhana di warung kopi, tempat kita berani mengajukan pertanyaan:“Apakah kita masih punya mental tempe… atau sudah belajar jadi bangsa yang bisa berpikir tanpa takut salah?”


Sambil mengunyah tahu bulat digoreng dadakan, di sela tawa membahana, saya yakin Bung Karno akan tersenyum dan berkata, “Yang penting, Nak, jangan cuma baca teori Habermas. Praktekkan dalam cara kamu bicara, berpikir, dan memperjuangkan kebenaran.” *