Indonesia Kehilangan Tawa: Catatan Kesenian dan Kebudayaan

Notification

×

Iklan

Iklan

Indonesia Kehilangan Tawa: Catatan Kesenian dan Kebudayaan

Selasa, 17 Agustus 2021 | 10:26 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:18Z

Seorang anak bertanya kepada sang ayah: “Untuk apa nonton Srimulat. Dapa apa saya. Hanya menghabiskan waktu saja”.

Sang ayah yang berusia empat puluh tahunan secara bijak menjawabnya: “Kita ini Nak, sudah sedemikian lama tak jadi manusia, lama pula menjadi bangsa yang laknat, bahkan kita tak habis-habis berperang melawan keinginan sempit kita sendiri. Kita sudah lama tak menjadi manusia Nak, sudah lama!”

“Marilah kita mulai proses menjadi manusia itu dengan tertawa. Kita butuh Srimulat, kita butuh Srimulat yang membuat tawa kita kembali menjadikan kita sebagai manusia. Kita butuh Srimulat, Nak! Agar Indonesia ini bisa terawa”

Percakapan antar dua manusia dari generasi berbeda di atas, menggelitik kita. Sebagai bangsa yang punya otak, kita seakan sedang menggerutu, sedih, dan marah terhadap ulah aparat pemerintah. Tak salah jika dalam keseharian, kita jarang tersenyum; apalagi tertawa terbahak-bahak. Srimulat adalah kelompok teater pop yang masih berpegang teguh pada pakem-pakem seni rakyat.

Kelompok Srimulat merupakan grup teater komedi bentukan mas Teguh dan Ajeng Srimulat, berasal dari suku Jawa. Tapi, saat mereka tampil di stasiun TV Indosiar, batas kesukuan sirna dan menjadi media untuk melepaskan segala ketegangan, kesedihan dan kecemasan rakyat akibat krisis moneter 1998 yang menimpa Negara Indonesia ke arah gelak tawa.

Seorang filosof Barat, Immanuel Kant, mengatakan bahwa lawakan atau humor sebagai sumber kekuatan yang dapat memberi pengaruh kuat dalam mencairkan manusia dari ketegangan. Lantas, bagaimana kondisi ekonomi, sosial, politik, dan budaya di Indonesia kini? Saya kira, telah sedemikian parah hingga rakyat jarang yang bisa tersenyum, bahkan sulit untuk tertawa terbahak-bahak karena gembira.

Tarif listrik yang untuk sebagian masyarakat desa tertinggal di Indonesia belum dapat dirasakan, sekarang akan dinaikkan dengan dalih dibatasi. Insentif dan disinsentif dalam tariff listrik yang rencananya akan diberlakukan bulan April, semacam alas an terselubung menaikkan harga tarif listrik. Rakyat pun pada posisi demikian kateumleuhan untuk mengatasi persoalan minimnya biaya subsidi pemerintah kepada PLN.

Belum lagi, harga minyak kelapa yang merangkak naik ke angka belasan ribu menambah daftar stressor masyarakat Indonesia. Jadi, untuk konteks kekinian, bangsa Indonesia telah lama menyimpan gelak tawanya di alam bawah sadar, dan yang muncul ke permukaan wajah adalah keketusan dan kesedihan. Adapun kalau nanti muncul adalah bentuk luapan-luapan emosional, tertawa sendiri sebagai tanda dari kegilaan karena tak tahan menahan rasa kecewa terhadap realitas kebijakan pemerintahan kita.

Dialog seorang anak dan seorang Bapak yang saya ambil dari buku karya Anwari bertajuk: Indonesia Tertawa; Srimulat sebagai Sebuah Subkultur (1999) relevan betul menggambarkan realitas kebangsaan saat ini. Betapa tidak, dengan sejumput persoalan yang melilit bangsa ini, membuat rakyat harus rela tidak tertawa, dan mendegradasi dirinya sebagai manusia sejati. 

Humor dan lawakan bisa bermakna negatif dan positif. Temasuk kategori negatif kalau melahirkan kehancuran bagi seni, agama, tatanan social, dan moralitas; sedangkan yang termasuk humor positif adalah yang bisa membebaskan dan memuliakan manusia sebagai wujud dari kreativitas.

Manusia dan tertawa, dalam perspektif filosofis merupakan satu pekerjaan tubuh yang berfungsi meredakan kecapekan dan keletihan akibat aktivitas sehari-hari yang menguras tenaga. Bahkan, dalam kitab Al-Qur’an pun dijelaskan bahwa kehidupan ini merupakan representasi dari lahwun dan laibun. Atau, menurut ajaran si Kabayan, estuning heuheuy jeung deudeuh. Namun, tatkala manusia pelit-kikir membukakan mulutnya untuk tertawa ketika ada objek yang pantas ditertawakan, itu tanda dari kita bukan manusia yang seutuhnya.

Akhirnya, tertawa, menertawakan, dan ditertawakan dalam kehidupan umat manusia merupakan bumbu yang harus melekat dalam realitas praksis. Karena, ruang dan waktu memberikan lahan bagi bibir kita untuk menangis, tentunya ketika ada impitan-impitan yang menghantam bangsa ini. Dan di satu sisi, bibir kita juga tak salah untuk dibuka lebar-lebar ketika ada realitas yang mengundang kita untuk tertawa terbahak-bahak. Asalkan, jangan tertawa sendiri tanpa ada sebab yang melatarinya. 

Itu namanya gila nyaho!